Abdul Ghofur
3401411127
PENDAHULUAN
Universitas Negeri Semarang (Unnes)
merupakan salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang terletak di Kelurahan
Sekaran, Kecamatan Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah. Unnes dengan mengusung
semangat konservasi, serta sehat, unggul, dan sejahtera (Sutera) menjadikan
Unnes semakin diminati sebagai pilihan studi lanjutan. Tahun 2013, jumlah
pendaftar Unnes dalam Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negri (SBMPTN) mencapai
44.510 orang untuk memperebutkan 2308 kursi (Suara Merdeka, Sabtu 9/6-13).
Saat ini, jumlah mahasiswa aktif Unnes
kurang lebih 36.000 orang, maka dapat diperkirakan total jumlah mahasiswa Unnes
pada tahun ajaran 2013/2014 akan melebihi angka 40.000 orang. Sebagai
konsekuensinya, lingkungan Unnes menjadi makin padat pemukiman dan mobilitas
ekonomi makin tinggi, karena setiap individu memiliki kebutuhan masing-masing
yang harus dipenuhi setiap harinya.
Selain
calon mahasiswa, Unnes memiliki daya tarik tersendiri bagi para investor. Lingkungan
padat penduduk (Unnes) merupakan lahan subur bagi para investor untuk
mengembangkan usahanya, salah satunya yaitu warung makan dan ngopi atau yang
disebut “BURJO” di lingkungan Unnes. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan
disajikan mengenai Hubungan Patron
Klien Pedagang ”Burjo” di Iingkungan
Universitas Negeri Semarang.
Kasus; Pedagang “Burjo” Di Lingkungan Unnes
“Burjo” merupakan singkatan dari Bubur
Kacang Ijo, sebuah identitas makanan khas dari Kuningan, Jawa Barat1.
Saat ini burjo dapat ditemui
diberbagai wilayah Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang,
Purwakarta,
Surakarta, dan daerah-daerah
lainnya terutama di lingkungan Perguruan Tinggi. Dalam konteks ini “Burjo”
merupakan sebutan warung yang menjual menu utama bubur kacang hijau serta makanan
instan dan siap saji di lingkungan Unnes. Akan tetapi tidak semua sebutan nama
warung Burjo adalah dengan nama
tersebut. Di Jakarta misalnya sebutan untuk nama warung Burjo ini adalah Warkop (Warung
Kopi).
Pemilik warung Burjo di lingkungan Unnes pada umumnya berasal dari Kuningan, Jawa
barat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki modal untuk mendirikan usaha Burjo, membangun warung dan isinya,
menyewa tanah, dan memenuhi kebutuhan vital pegawainya1. Bentuk
kepemilikan usaha Burjo merupakan
usaha perseorangan ataupun persekutuan. Jika bentuk persekutuan maka pembagian
hasil usaha ( laba) dapat dibagi rata dalam bentuk jumlah uang, atau dengan
cara pembagian waktu operasional warung2. Di lingkungan
Unnes, pemilik modal selalu berusaha mengembangkan usaha Burjo-Nya, dari mulai 1 warung sampai dengan beberapa warung yang
didirikannya, seperti halnya warung Burjo,
“LASKAR”, pada tahun 2013 ini terdapat 4 warung yang telah didirikannya
dari tahun 2009. Tidak ada sebutan khusus untuk pemilik modal, pekerja
memanggil pemilik modal dengan sebutan kekerabatannya.
Pedagang Burjo atau penjaga warung adalah mereka yang ikut bekerja pada
pemilik modal dan yang diajak atau dipekerjakan oleh pemilik modal, dan biasanya
mereka adalah saudara atau tetangga dari pemilik modal, serta pekerja lain.
Akan tetapi bentuk kesepakatan dari pemilik modal dengan pekerjanya tersebut
berbeda-beda. Kesepakatan awal antara pemilik modal dengan saudara (pekerja)
pemberian upah dilakukan dengan sistem bagi hasil dan tidak ada
tuntutan-tuntutan atau target penjualan dari pemilik modal serta memiliki hak
kendali terhadap operasional warung. Sedangkan pada tetangga ataupun pekerja
lain sistem pemberian upah diberikan dengan nominal tertentu setiap satu bulan,
dan ada tuntutan tertentu, serta hak kendali operasional warung terbatas.
Pedagang Burjo dalam satu warung umumnya berjumlah dua orang, hal ini
dikarenakan Burjo buka 24 jam non stop, sehingga sitem kerja shift
(siang-malam) dilakukan bergiliran oleh mereka. Kondisi tersebut membutuhkan
tenaga ekstra bagi pedagang Burjo, sehingga
menyebabkan kelelahan bahkan sakit. Saat pedagang Burjo ada yang sakit, pemilik modal akan datang ke warung dan
mengantarkannya pergi berobat serta menangung biaya pengobatan.
LANDASAN KONSEPTUAL; Hubungan
Patron Klien
Kajian Teoretis Scott
(1972: 92) mengemukakan hubungan patron klien
sebagai suatu keadaan khusus dari persekutuan dyadic (dua orang) yang
melibatkan sebagian besar persahabatan, sementara seorang atau kelompok yang
berstatus sosial ekonomi lebih tinggi berperan sebagai patron, menggunakan pengaruh,
dan penghasilannya untuk memberikan perlindungan dan kebaikan kepada seseorang
atau kelompok yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Kelompok ini
berperan sebagai klien, bersedia membalas budi berupa dukungan menyeluruh yang
meliputi pelayanan pribadi kepada patron.
Selanjutnya, Scott
(1972) mengemukakan ciri hubungan patron klien yang membedakan dengan hubungan
sosial lain. Ciri pertama: adanya ketidakseimbangan (inequality) dalam
pertukaran. Ketidakseimbangan terjadi karena patron berada dalam posisi pemberi
barang atau jasa yang sangat diperlukan bagi klien dan keluarganya agar mereka
dapat tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri klien muncul akibat pemberian
tersebut, selama pemberian itu masih mampu memenuhi kebutuhan klien yang paling
pokok. Jika klien merasa apa yang dia berikan tidak dibalas sepantasnya oleh
patron, dia akan melepaskan diri dari hubungan tersebut tanpa sangsi. Ahimsa
(1996: 32) juga mengatakan bahwa dalam hubungan patron harus didukung oleh
norma-norma masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya
(klien) melakukan penawaran, artinya jika salah satu pihak merasa bahwa pihak
lain tidak memberi seperti yang diharapkan, dia dapat menarik diri dari
hubungan itu tanpa sangsi. Dengan demikian, ketidakseimbangan akan lebih tepat
jika dipandang dari sisi kelebihan patron dalam hal status, posisi, kekayaan,
sedangkan barang ataupun jasa yang dipertukarkan akan mempunyai nilai seimbang.
Hal ini dimungkinkan karena nilai barang atau jasa itu sangat ditentukan oleh
para pelaku pertukaran itu, makin dibutuhkan barang atau jasa itu makin tinggi
pula nilai barang itu baginya.
Ciri kedua: adalah
sifat tatap muka. Sifat ini memberi makna bahwa hubungan patron klien adalah
hubungan pribadi, yaitu hubungan yang didasari rasa saling percaya.
Masing-masing pihak mengandalkan penuh pada kepercayaan, karena hubungan ini
tidak disertai perjanjian tertulis. Dengan demikian, walaupun hubungan patron
klien bersifat instrumental, artinya kedua belah pihak memperhitungkan untung-rugi,
namun unsur rasa selalu menyertai.
Ciri ketiga adalah sifatnya luwes dan meluas. Dalam
relasi ini bantuan yang diminta patron dapat bermacam-macam, mulai membantu
memperbaiki rumah, mengolah tanah, sampai ke kampanye politik. Klien mendapat
bantuan tidak hanya pada saat mengalami musibah, tetapi juga bila mengalami
kesulitan mengurus sesuatu. Dengan kata lain, hubungan ini dapat dimanfaatkan
untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, sekaligus sebagai
jaminan sosial bagi mereka.
ANALISIS KASUS
Scott (1972: 92) mengemukakan hubungan patron
klien sebagai suatu keadaan khusus dari
persekutuan dyadic (dua orang) yang melibatkan sebagian besar persahabatan,
sementara seorang atau kelompok yang berstatus sosial ekonomi lebih tinggi
berperan sebagai patron, menggunakan pengaruh, dan penghasilannya untuk
memberikan perlindungan dan kebaikan kepada seseorang atau kelompok yang
memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Kelompok ini berperan sebagai
klien, bersedia membalas budi berupa dukungan menyeluruh yang meliputi
pelayanan pribadi kepada patron. pandangan tersebut memberi petunjuk bagi yang
memiliki atau menguasai sumber daya yang diperlukan dalam masyarakat dan
hubungan patron klien itu berlangsung adalah patron, sebaliknya bagi yang tidak
menguasai sumber daya langka berada pada posisi klien.
Pada kalangan pedagang Burjo,yang dipandang sebagai patron
adalah pemilik modal. Peranan pemilik modal tidak hanya sebatas menyediakan
warung, namun juga menyediakan bahan baku, menyewa tanah, menyediakan perlengkapan
berjualan, mencarikan lokasi usaha, dan menyediakan modal bahan baku, serta
memenuhi kebutuhan vital pegawai. Kebutuhan vital ini adalah seperti kebutuhan
makan sehari-hari, menyediakan kamar tidur, dan kamar mandi yang tidak terdapat
dalam warungnya. Sumber daya secara nyata yang dimiliki pemilik modal dapat dilihat
dari kekuatan pemilik modal untuk mendirikan warung empat sampai delapan warung
atau menampung delapan sampai lima belas pedagang Burjo.
Sumber daya andalan
pemilik modal Burjo adalah tenaga kerja,
kejujuran, dan loyalitas kerja. Sumber daya ini dipandang lebih rendah
dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki pemilik modal karena ada anggapan
bahwa sumber daya tersebut mudah digantikan orang lain. Pandangan tersebut memberi
isyarat kedudukan pedagang Burjo
lemah. Namun, selemah apapun posisi pedagang Burjo tetap besar artinya bagi pemilik modal sebab tanpa kehadiran
pedagang Burjo pemilik modal tidak
akan terlihat memiliki sumber daya lebih.
Sumber daya yang dimiliki
tiap-tiap pihak kemudian dipertukarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Besarnya keuntungan yang diperoleh tiap-tiap pihak tidaklah sama. Pedagang Burjo yang masih saudara dengan pemilik
modal menyatakan bahwa keuntungannya bergantung ramai tidaknya pembeli, hal ini
dikarenakan sistem upah bagi hasil. Berbeda dengan pedagang Burjo yang bukan saudara, upah yang
diterima diberikan setiap bulannya dengan jumlah yang sama, kecuali jika dalam
dua bulan warung selalu ramai, maka dia akan mendapatkan bonus dari pemilik
modal. Menurut pedagang Burjo ini keuntungan
terbesar diperoleh pemilik modal. Secara objektif dan rasional hal ini wajar
karena pemilik modal sebagai pemilik modal sudah semestinya mendapatkan untung
lebih besar. Walaupun pedagang Burjo
bekerja keras menjajakan dagangan 24 jam non
stop, dan pemilik modal hanya diam di rumah. Akan tetapi besarnya keuntungan
maupun upah tersebut menjadikan mereka bertahan menjadi pedagang Burjo daripada harus jadi pengangguan di
rumah.
Faktor lain yang menjadikan
pedagang Burjo bertahan dalam hubungan
patron klien adalah risiko kegagalan usaha, seperti jatuh bangkrut, keuntungan
tidak memadai, kesulitan mendapatkan lokasi usaha yang strategis karena itu
tidak mau mandiri. Dengan demikian, apa yang semula diperhitungkan bahwa terjadi
ketidakseimbangan keuntungan, ternyata bagi pihak-pihak yang terlibat dalarn
pola hubungan itu mempunyai penilaian sendiri-sendiri terhadap nilai barang
yang mereka pertukarkan, semakin dibutuhkan barang atau jasa maka semakin
tinggi pula nilai barang itu baginya. Bagi Pemilik modal, kesetiaan, kejujuran,
serta tenaga kerja yang dimiliki pedagang Burjo
kliennya mempunyai nilai yang tinggi.
Sekalipun hubungan
telah mereka jalin dengan baik, namun tidak tertutup kemungkinan putusnya
hubungan. Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena salah satu pihak dengan
alasan tertentu tidak bersedia lagi menjalin hubungan. Hasil penelitian menunjukkan
pemah terjadi pemutusan hubungan kerja dari pihak pemilik modal yang
dikarenakan pedagang melakukan korupsi. Dari pihak pedagang Burjo alasan yang paling menonjol
putusnya hubungan kerja adalah karena telah dapat berdiri sendiri, kemudian
mengajak rekan lain dari kampungnya. Hal itu berarti pedagang Burjo telah berhasil menjadi patron bagi
klien yang lain. Selain itu pemutusan hubungan terjadi karena patron menjual
usahanya pada pemilik modal yang lain, jika seperti hal ini terjadi, klien
dapat memilih untuk ikut pada pemilik modal yang baru ataupun menunggu patronya
mendirikan Burjo lagi.
Walaupun telah terjadi pemutusan
hubungan kerja dengan pemilik modal, namun hubungan di luar pekerjaan masih
mereka pelihara dengan baik. Dalam rangka merekrut anak buah, pemilik modal
lebih suka mengambil saudara maupun tetangga dari desanya terutama saudara,
dengan alasan sudah saling mengenal. Hal ini dilakukan berkaitan dengan rasa
saling percaya, karena pada dasaarya pembentukan hubungan patron klien tidak sepenuhnya
legal bahkan lebih banyak bersifat informal.
Ukuran pemilik modal
dapat dipercaya dilihat dari sikapnya yang cepat tanggap dan kesediaan untuk
segera membantu setiap kesulitan yang dialami anak buahnya. Kepercayaan pemilik
modal secara nyata ditunjukkan pada saat pedagang Burjo membutuhkan pinjaman uang. Pada saat transaksi berlangsung
sampai pelunasan hutang, pemilik modal tidak memerlukan saksi. Pemilik modal
juga tidak mensyaratkan barang atau surat-surat berharga sebagai jaminan.
Kepercayaan lain ditunjukkan dengan pemberian berbagai hadiah seperti uang, pakaian,
dan makanan
menjelang
lebaran. Pemberian hadiah tersebut juga dimaksudkan untuk mempertahankan
hubungan jangka panjang, untuk memikat hati, menghilangkan prasangka-prasangka
jelek, dan rasa kurang puas.
Sementara itu,
kepercayaan pedagang Burjo ditunjukkan
dengan sikap jujur, loyalitas kerja yang tinggi, dan kepatuhan untuk melakukan
pekerjaan untuk kepentingan keluarga pemilik modal. Hal ini penting karena
hubungan kerja yang terjalin bersifat sukarela, tanpa perjanjian tertulis
seperti layaknya suatu perusahaan.
Terjadinya Hubungan
Patron Klien pada Pedagang Burjo merupakan
bagian dari berkembangnya hubungan patron klien di kawasan Asia Tenggara,
menurut Scott (dalam Ahimsa, 1996: 36) disebabkan oleh (1) Adanya ketimpangan
mencolok dalam penguasaan atas kekayaan, status dan kekuasaan, mengingat hal
ini sedikit banyak dianggap sah oleh mereka yang terlibat di dalamnya; (2)
Tidak adanya pranata yang menjamin keamanan individu, baik yang menyangkut
status maupun kekayaan; (3) Tidak dapat diandalkannya ikatan kekerabatan saja
sebagai sarana satu-satunya mencari perlindungan serta memajukan diri.
Kondisi-kondisi yang dikemukakan Scott tersebut memang hadir di kalangan
pedagang Burjo.
Ketimpangan Penguasaan
Kekayaan, Status, dan Kekuasaan Sebagai masyarakat pedagang, indikator utama
adalah modal usaha. Modal usaha digunakan untuk menyiapkan pondok, sewa tanah,
peralatan membuat minuman dan makanan, serta peralatan lainnya, sedangkan modal
harian diperlukan untuk membeli stok
barang dagangan . Modal yang dibutuhkan tersebut dirasakan pedagang burjo sangat berat, mengingat latar
belakang pedagang Burjo di lingkungan
Unnes berasal dari golongan ekonomi lemah1.
Ketidakamanan Fisik dan
Sosial Kondisi lain menurut Scott (dalam Ahimsa, 1996: 34) yang juga mendukung
kehadiran hubungan patron klien adalah ketidakamanan fisik dan sosial di tengah
kelangkaan komoditi penting yang diperlukan. Jalan terbaik bagi mereka adalah menempel
atau bergantung kepada seseorang yang lebih berkuasa, yang lebih mampu
melindungi atau memberi mereka segala sesuatu yang diperlukan. Begitu juga
kondisi yang dialami pedagang Burjo. Suasana
tidak aman baik fisik ataupun sosial akan dirasakan apabila kedatangan mereka
tanpa bantuan kenalan, saudara, sahabat yang bersedia memberi jaminan fisik
ataupun sosial. Pihak yang bersedia memberikan jaminan fisik dan sosial ini
disebut sebagai patron. Jaminan fisik dan sosial yang diberikan pemilik modal adalah
tempat tinggal, mengusahakan izin tinggal, memberi pekerjaan, dan menjamin kehidupan
sehari-hari termasuk keluarga di kampung dari pedagang yang sudah beristri.
Selain itu patron juga memberikan jaminan kesehatan pada pekerjanya.
Jaminan Sosial dan Kelompok Kekerabatan Berkenaan
dengan peranan kelompok kekerabatan, situasi di Jawa, khususnya di daerah
penelitian sesuai dengan temuan Scott (dalam Ahimsa, 1996: 36) di daerah Asia
Tenggara pada umumnya yaitu tidak dapat diandalkannya ikatan kekerabatan sebagai
sarana satu-satunya mencari perlindungan serta mamajukan diri. Oleh karena itu,
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tiap-tiap keluarga inti benar-benar
bertanggung jawab atas tercukupinya kebutuhan keluarganya. Makin bertambahnya
kebutuhan ekonomi masa kini yang tidak dapat lagi dipenuhi oleh rumah tangganya
sendiri, dan seiring dengan langkanya tanah dan tidak tersediannya tanah baru yang
dapat dikerjakan sebagai lahan pertanian maka orang Kuningan Jawa Barat makin
bergantung kepada berbagai pranata lain dalam masyarakat. Salah satu pranata tersebut
adalah hubungan patron klien.
PENUTUP
Hubungan patron-klien pedagang Burjo merupakan salah satu bentuk hubungan pertukaran khusus antara
dua pihak, yakni antara mereka yang mempunyai status, kekayaan dan kekuatan
lebih tinggi (pemilik modal) dengan mereka yang memiliki status dan kekayaan
lebih rendah (pedagang Burjo). Terjadinya hubungan tersebut dikarenakan
kepemilikan sumber daya usaha, unit kekerabatan, dan kebutuhan ekonomi
sehari-hari. Selain itu pada kalangan pedagang burjo juga terdapat hubungan
antra patron dengan patron dan masing-masing patron memiliki hubungan dengan
kliennya masing-masing pula dalam satu usaha “Burjo”.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa, H. 1988. Minawang;
Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Hefni, Moh.
2009. Patron-Client Relationship Pada Masyarakat Madura. Dalam Jurnal Karsa. No. 01 hal 15-24.
James C Scott. (1972). Patron Client Politics
and Change In South East Asia (dalam Friends, Followers, and Factions, A Reader
In Political Clientalism), diedit oleh Steffen W Schmidt., et.al. Berkeley Los
Angeles, London: University of California Press. (melalui www.wordprees.com )
Mohon maaf ini karya ilmiah skripsi atau apa? Sebab saya akan menjadikan ini sebagai salah satu sumber rujukan untuk skripsi saya. Mohon bantuannya ya...? Sebab disini tidak ada penjelasan mengenai metode yang digunakan
BalasHapusmaaf tulisan ini merupakan paper tugas kuliah dengan format penyusunan tanpa mencantumkan metode. Dalam penelitaian saya menggunakan metode wawancara dan observasi.
BalasHapus