Konsep
Pemikiran Emile Durkheim
A. Biografi dan Karya
Nama : Emile Durkheim
Tempat Tanggal Lahir : Epinal ibukota Lorraine, Prancis, 15 April
1858
Meninggal : 15 November di Paris 1917.
Selamanya hidupnya
Emile Durkheim menghasilkan beberapa karya :
1. The Devision of Labour in Society (1893)
2. Rules of Sociology Method (1895)
3. Sucide (1897)
4. The Elementary Forms of Religious Life (1912)
B. Teori dan Gagasan
Perhatian Durkheim yang utama adalah
bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa
modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak
ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern,
Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert
Spencer Durkheim
adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai
bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam
mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak
dikenal sebagai fungsionalisme.
1. Konsep Dasar
Tentang Moderenitas
Respon Durkheim terhadap
modernitas terdiri atas dua, yaitu :
1. Durkheim menegaskan bahwa masyarakat modern itu harmonis dan tertib
2. Durkheim ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan untuk menghasilkan
pengetahuan yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita membangun masyarakat
yang tertib dan harmonis itu.
2. Fakta Sosial dan
Karakteristiknya
Fakta Sosial menurut
Durkheim berada eksternal (diluar) dan mengendalikan individu-individu. Meski
tidak dapat dilihat, struktur aturan-aturan itu nyata bagi individu yang perilakunya
ditentukan oleh fakta sosial tersebut. Ini kemudian membuat Durkheim
berpendapat bahwa masyarakat memiliki eksistensinya sendiri.
Fakta sosial menurut
Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap,
diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia
nyata (external world), contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material, yaitu merupakan fenomena yang bersifat inter
subjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia, contohnya
egoisme, altruisme dan opini.
Secara garis besar
fakta sosial terdiri atas dua tipe yakni struktur sosial dan pranata sosial.
Sifat dan hubungan dari fakta sosial inilah yang menjadi sasaran penelitian
sosiologi menurut paradigma fakta sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial
itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial,
posisi, peranan, nilai-nilai keluarga, pemerintah. Karakteristik fakta sosial
yaitu; eksternal, memaksa dan umum.
3. Struktur Sosial
Emile Durkheim
berpandangan bahwa struktur sosial itu terdiri dari norma-norma dan nilai-nilai
dan melalui sosialisasi kita mempelajari defenisi-defenisi normatif ini, hanya
melalui proses ini yang membuat anggota-anggota masyarakat menjalankan
kehidupan sosial mereka.
Bagi Durkheim walaupun
kita mungkin menganggap dapat memilih perilaku tertentu untuk berinteraksi
dengan orang lain, dalam realitasnya pilihan sebenarnya sudah disediakan oleh
sistem nilai dan sistem norma untuk kita.
Durkheim mengungkapkan
bahwa pencapaian kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial
dalam masyarakat yang disebut Solidaritas Sosial, dimantapkan oleh sosialisasi,
yang melalui proses tersebut manusia secara kolektif belajar standar-standar atau
aturan-aturan perilaku.
4. Solidaritas
Mekanik dan Solideritas Organis
Bahwa
solidaritas mekanis dibentuk oleh masyarkat yang masih memiliki kesadaran
kolektif yang sangat tinggi, kepercayaan yang sama, cita-cita dan komitmen
moral. Masyarkat yang menggunakan solidaritas mekanis, mereka melakukan
aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama.
Sebaliknya,
solidaritas organis dibentuk karena semakin banyak dan beragamnya pembagian
kerja. Sehingga pembagian kerja tersebut membuat spesialisasi pekerjaan di
dalam masyarakat yang menyebabkan kesadaran kolektif menjadi menurun. Semua
kegiatan berspesialisasi mereka berhubungan dan saling tergantung satu sama
lain, sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi
didasarkan pada saling ketergantungan.
5. Asal-usul
Bentuk-bentuk Pengetahuan dalam Masyarakat
Menjelang akhir buku
The Elementary Forms, Durkheim memperluas pokok pikirannya dengan mengemukakan
bahwa tidak hanya pemikiran agama melainkan juga pengetahuan pada umumnya
berlandaskan pada dan mencerminkan dasar sosialnya. Misalnya suatu pengetahuan
tergantung pada bahasa untuk dapat diteruskan kegenerasi berikutnya, dan bahasa
merupakan produk sosial, bukan ciptaan individu.
6. Ilmu Tentang Masyarakat
Perhatiannya terhadap
struktur sosial mendorong Durkheim menggunakan ilmu pengetahuan (sains) untuk
menjelaskan kehidupan sosial. Metode ilmiah yang dikembangkan kemudian dikenal
dengan positivisme. Bagi Durkheim, struktur sosial sama obyektifnya dengan alam
itu sendiri.
Menurut Durkheim,
sifat struktur diberikan kepada warga masyarakat sejak mereka lahir, s5ama
seperti yang diberikan alam kepada fenomena alam. Masyarakat terdiri dari
realitas fakta sosial yang sama bersifat eksternal dan menghambat individu.
Kita tidak memilih untuk meyakini sesuatu yang kita yakini kini atau memilih
tindakan yang kita ambil sekarang. Aturan-aturan kebudayaan yang sudah ada yang
menentukan gagasan dan perilaku kita melalui sosialisasi individu dalam
masyarakat.
Jadi sama dengan
karakteristik gejala alam yang merupakan produk dari aturan-aturan alam,
demikian pula gagasan dan tindakan manusia adalah produk kekuatan sosial
eksternal yang membentuk struktur sosial. Sehingga Durkheim mengungkapkan bahwa
sosiologi dapat dan harus objektif karena berhubungan dengan realitas yang
pasti dan substansil sebagaimana halnya yang dilakukan oleh ahli biologi.
Bagi kaum positivis
metode ini meliputi pengamatan empiris, maka dalam sosiologi harus menyandarkan
diri pada bukti empiris. Oleh karena perilaku ditentukan oleh oleh struktur
sosial eksternal, ketika kita mengkuantifikasi jumlah (insidens) tindakan atau
pikiran orang, yang kita dapatkan adalah bukti empiris dari kekuatan sejauh
yang memproduksi perilaku dan keyakinan itu. Dengan demikian kita akan
membangun ilmu tentang masyarakat yang dapat dijadikan pedoman untuk memahami
bagaimana masyarakat diorganisasi, dalam konteks pengetahuan mengenai hukum
yang mengatur perilaku sosial.
Dalam masyarakat yang
kuat dan tertib, kebebasan individual hanya dapat terjadi apabila keyakinan dan
perilaku diatur dengan sebaik-baiknya melalui sosialisasi. Individu patuh
kepada masyarakat dan kepatuhan ini adalah kondisi bagi kebebasannya. Bagi
manusia, kebebasan berarti terbebas dari pemaksaan fisik yang membabi-buta,
kondisi ini dicapai dengan mematuhi kekuatan besar dan cerdas, yakni masyarakat
yang dibawah pengaturannya individi berlindung.
7. Peraturan
Metode Sosiologi
Ada lima aturan
fundamental dalam metode Durkheim, yakni :
1. Mendefenisikan objek yang dikaji secara objektif
Disini yang menjadi
sasaran adalah sebuah peristiwa sosial yang bisa diamati di luar kesadaran
individu. Defenisi tidak boleh mengandung prasangka terlepas dari apapun yang
kira-kira akan menjadi kesimpulan studi.
1. Memilih satu atau beberapa kriteria
Ini dicontohkan oleh
Durkheim dalam pembahasan tentang solidaritas sosial yang berbeda-beda atau
mencari penyebab bunuh diri dengan menggunakan angka kematian akibat bunuh
diri. Akan tetapi harus banyak kriteria yang harus diperhatikan dalam
mengajukan analisis tersebut.
1.
Menjelaskan Kenormalan
patologi
Ada beberapa situasi
yang bersifat kebetulan dan sementara yang bisa mengacaukan keteraturan
peristiwa. Jadi kita harus membedakan situasi-situasi normal yang menjadi dasar
kesimpulan-kesimpulan teoritis.
1. Menjelaskan masalah sosial secara “Sosial”
Sebuah peristiwa
sosial tidak hanya bisa dijelaskan lewat keinginan individual yang sadar, namum
juga melalui peristiwa atau tindakan sosial sebelumnya. Setiap tindakan
kolektif mempunyais atu signifikansi dalam sebuah sistem interaksi dan sejarah.
Inilah yang disebut metode fungsional.
1. Mempergunakan metode komparatif secara sistematis
Hanya komparatif
terhadap ruang dan waktu yang memungkinkan semua studi berakhir menjadi ilmu
atau yang biasa disebut oleh Durkheim dengan demonstrasi sosiologis.
8. Integrasi
Sosial dan Angka Bunuh Diri
Perubahan-perubahan
dalam tingkat integrasi dalam suatu masyarakat secara empiris dinyatakan dalam
berbagai cara. Emile Durkheim dalam salah satu studinya mengungkakan pengaruh
integrasi sosial terhadap kecenderungan individu untuk mengakhiri hidupnya
sendiri (bunuh diri).Karena studi ini tidak bisa dilakukan di laboratorium,
maka Durkheim mempergunakan berbagai variasi situasi sosial untuk melakukan
perbandingan. Durkheim berpedoman pada metode variasi yang terjadi pada waktu
yang sama (korelasi-korelasi) dengan membangun rangkaian mulai dari peristiwa
yang harus terseleksi, Durkheim memisahkan sejumlah variabel berupa umur, seks,
situasi sipil, keanggotaannya dalam agama, tingkat pendidikan yang kemudian
dibadingkan dengan angka kematian.
Durkheim menemukan
bahwa angka bunuh diri laki-laki yang menduda lebih parah dibandingkan status
menjanda perempuan. Durkheim juga membantah teori yang menganggap bunuh diri
disebabkan oleh kegilaan, ras dan hereditas. Durkheim mengembangkan teori
sosialisasinya dengan membuat suatu tipologi., yakni :
1. Bunuh diri egoistis
Agama, keluarga dan
masyarakat politik merupakan kelompok sosial yang mendefenisikan identitas
individu. Ketika semua itu melemah terhadao individu, maka individu kehilangan
tempat bernaung dan mundur kearah dirinya sendiri yaitu kepada egonya.
1.
Bunuh diri altruistis
Jika integrasi sosial
terlalu kuat dan individu terlalu terkungkung, maka bisa saja menghasilkan
altruisme intens yang menyebabkan orang melakukan bunuh diri.
1.
Bunuh diri anomik
Jika dalam proses
sosialisasi ternyata integrasi sosial bisa menunjukan adanya defisiensi lewat
ekses atau kekurangannya, maka hal yang sama juga terjadi pada peraturan
sosial, yakni ketika dominasi intelektual atau moral kelompok melemah, individu
akan menghadapi sendiri keinginan dan nafsunya. Terputusnya keseimbangan ini
menyebabkan anomie yaitu desosialisasi ini kemudian memicu bunuh diri anomik.
9. Agama dalam Masyarakat
Dalam usaha memahami
esensi fenomena keagamaan, Durkheim menyimpulkan bahwa agama sesungguhnya
adalah masalah sosial. Agama adalah hal paling primitif dari segala fenomena
sosial. Semua manifestasi lain dari aktivitas kolektif berasal dari agama dan
melalui berbagai transformasi secara berturut-turut, antara lain menyangkut
hukum, moral, seni, bentuk politik, dsb.
Dengan menganalisis
sistem totem bangsa primitif di Australia, Durkheim menyimpulkan bahwa totem
merupakan simbol klan sekaligus simbol ketuhanan. Dengan demikian bukankah
Tuhan dan masyarakat itu satu. Apa yang dianggap sakral itu adalah produk dari
kelompok. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam
bentuk fakta sosial nonmaterial.
Bagi Durkheim perilaku
masyarakat yang menganggap Tuhan atau menciptakan Dewa sama sekali tidak
terlihat lagi kecuali tahun-tahun pertama berkecamuknya revolusi prancis. Agama
sendiri cenderung berkembang jika memiliki dogma, simbol, altar dan
perayaan-perayaan. Dengan demikian bentuk Tuhan atau dewa tidak terlalu
penting, yang penting adalah representasi religius adalah representasi kolektif
yang mengungkapkan realitas kolektif, ritus-ritus yang ada didalamnya adalah
cara untuk bertindak yang hanya muncul ditengah-tengah kelompok saat berkumpul
dan bertujuan untuk membangkitkan, mempertahankan atau membangun kembali
berbagai kondisi mental kelompok itu (kesadaran kolektif).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar