Selasa, 20 November 2012

PKN dan aspek sosial budaya


BAB I PENDAHULUAN

A.    Latarbelakang
Pertempuran yang terjadi dimasa pra-kemerdekaan ataupun pasca-kemerdekaan, telah memberi gambaran konflik yang terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut merupakan serentetan konflik yang pernah dialami oleh bangsa ini, sehingga menjadikan 17 Agustus 1945 merupakan lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Sebelum dan sesudah itu, bangsa indonesia mengalami pertentangan-pertentangan yang muncul justru dari para tokoh elit sosial-poltik bangsa. Sebelumnya  mereka saling membantu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka tidak mengedepankan hasrat ego mereka masing-masing. Namun setelah kemerdekaan muncullah peristiwa pemberontakan, yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun 1948, DI/TII , PRRI-Permesta, G30 S/PKI, yang berusaha meruntuhkan kesatuan NKRI

Selasa, 13 November 2012

PKn dan Multikultural



BAB I PENDAHULUAN

1.1       Latarbelakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki struktrur yang bersifat majemuk. Melihat masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaan masing-masing bersifat plural (jamak) sekaligus juga hetrogen (aneka ragam). Pluralitas sebagai kontraposisi dari simularitas menimbulkan adanya situasi yang terdiri dari kejamakan bukan ketunggalan. Artinya, dalam masyarakat Indonesia dapat dijumpai berbagai sub-kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu kelompokan satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari 500 suku bangsa di Indonesia menegaskan kenyataan itu. Demikian pula dengan kebudayaan mereka. Heterogenitas yang merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya. Artinya, masing-masing sub kelompok masyarakat itu berserta kebudayaannya benar-benar berbeda satu dari yang lainnya tapi masih dalam satu NKRI.
Banyaknya penyimpangan perilaku siswa di sekolah maupun masyarakat disebabkan demi menjaga gengsi atau kehormatan masing-masing, maka persahabatan, toleran dan norma-norma menjadi lemah, yang terjadi malah sebaliknya ingin menang sendiri dan pahamnyalah yang harus dianggap paling benar. Masing-masing kelompok dengan latarbelakang suku, budaya dan agama yang sama berusaha melakukan indoktrinasi untuk memperkuat fanatik golongan. Kurangnya tokoh di sekolah maupun di masyarakat juga mengakibatkan peserta didik kehilangan figure teladan bagi hidupnya. Sekarang banyak guru yang bukan mendidik melainkan hanya sekedar mengajar. Mengajar merupakan proses dimana memberikan pengetahuan dimana peserta didik yang tadinya tidak tahu menjadi tahu sedangakan mendidik cakupannya lebih luas dimana seseorang selain memberikan pengetahuan juga memberikan contoh mengenai tingkah laku , norma maupun nilai yang benar.
Seseorang tidak bisa mendidik karena ia sekedar mau, juga orang tidak bisa mendidik karena ia sekedar tahau, tetapi seseorang hanya bisa mendidik dengan baik apabila ia mampu menampilkan dirinya secara holistik atau utuh sebagai pendidik yang berdedikasi secara nyata. Sikap saling menghargai dalam masyarakat multi etnik sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik dalam pergaulan. Keanekaragamaan etnik-budaya Indonesia hendaknya bukan menjadi faktor penyebab terjadinya konflik antar sesama, melainkan diharapkan mampu menjadi ”bumbu kehidupan” bagi perekat dalam pergaulan di masyarakat untuk saling melengkapi.

1.2       Rumusan Masalah
1)      Apa esensi pendidikan kewarganegaraan?
2)      Bagaimana penjelasan mengenai konsep nilai multikultural?
3)      Bagaimana pengembangan nilai multikiultural melalui pendidikan kewarganegaraan?
4)      Seberapa jauh pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan multicultural?

















BAB II PEMBAHASAN

2.1       Esensi Pendidikan kewarganegaraan
Branson (1999:3) mengingatkan bahwa civic education seharusnya menjadi perhatian utama. Tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan warga negara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan dengan komitmen yang benar terhadap nilai-nilai dari prinsip fundamental dan demokrasi. Benyamin Barber (Branson,1999:5) menjelaskan bahwa civic education adalah pendidikan untuk megembangkan dan memperkuat dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom yang demokratis berita bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri, mereka tidak hanya menerima didekte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila warga negara dapat berpartisipasi dalam pemeritahannya. Dalam demokrasi konstitusional, civic education yang efektif adalah suatu keharusan karena kemampuan berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berfikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain, semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai.
Pendidikan kewarganegaraan memiliki visi dan misi serta struktur keilmuan. Menurut Kementrian Pendidikan Nasional (2003:3) visi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfubgsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (motion and character building) dan pemberdayaan warganegaranya. Sedangkan misinya adalah menjadikan warga negara yang baik yakni warga negara yang memiliki kesadaran polotik dan kesadaran moral. Untuk mencapai visi dan misi tersebut maka pendidikan Kewarganegaraan tampil dengan paradigm baru struktur keilmuan mencakup dimensi pengetahuan (Civic Knowledge), keterampilan kewarganegaraan (Civic Skill) watak atau karakter kewarganegaraan (Civic Disposition). Cakupan dimensi dalam struktur keilmuan yang lain meliputi politik, hukum dan moral.

2.2       Pengertian Nilai Multikultural
Perkataan “nilai” dapat ditafsirkan sebagai ”makna” atau “arti” (worth) sesuatu barang atau benda. Hal ini mempunyai pengertian bahwa sesuatu itu bernilai, berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Adapun multikulturalisme secara sederhana berarti “keberagaman budaya”. Sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru.
Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.
Sebagai sebuah gerakan, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi mendasar yang harus diperhatikan dalam kajian tentang multikulturalisme, yaitu:
Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri di mana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain. Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.

2.3       Pengembangan Nilai Multikultural Melalui Pendidikan Kewarganegaraan
      Multikulturalisme dalam Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam pelbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.
Pendidikan dengan wawasan mutlikultural dalam rumusan James A. Banks adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural adalah proses pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan di antara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar ­mengajar.
Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.  Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives”.
Dari beberapa dua definisi di atas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam masyarakat. Identitas pada dasarnya inheren dengan sikap pribadi ataupun kelompok masyarakat, karena dengan identitas tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula dalam interaksi antar budaya yang berbeda. Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, identitas-identitas tersebut diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karena itu, identitas lokal atau budaya lokal merupakan muatan yang harus ada dalam pendidikan multikultur.
Dalam masyarakat ditemukan berbagai individu atau kelompok yang berasal dari budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya, lokal, nasional dan global. Oleh karena itu, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.

2.4       Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Multikultural
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional (Sisdiknas), pendidikan kewarganegaraan merupakan nama matapelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan mata kuliahwajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini lebih jelas dandiperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjelasan dari Undang-Undang tersebut.
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan adanya ketentuan UU tersebut maka kedudukan pendidikan kewarganegaraan sebagai basis pengembangan masyarakat multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia semakin jelas dan mantap.
Secara epistimologis, pendidikan kewarganegaraan dikembangkan dalam tradisi citizenship education yang tujuannya sesuai dengan tujuan nasional masing-masing negara. Namun secara umum, tujuan negara mengembangkan pendidikan kewarganegaraan adalah agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizenship), yakni warganegara yang memiliki kecerdasan, baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasabangga dan tanggung jawab; dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Di Indonesia, pendidikan kewarganegaraan telah beberapa kali perubahan nama sejalan dengan perkembangan dan pasang surutnya perjalanan politik bangsa Indonesia. Istilah civic dan civic education telah muncul masing-masing dengan nama: Kewarganegaraan (1957) yang membahas tentang caram emperoleh dan kehilangan kewargaan negara; Civics (1962) yang lebih banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama diarahkan untuk nation and character building bangsa Indonesia; dan Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Tahun 1975, nama pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas, dan PendidikanPancasila untuk perguruan tinggi. Pada tahun 1994, berubaha menjadi PendidikanPancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan terakhir berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 berubah lagi menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.
Terkait dengan pendidikan multikultural, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan penting dalam rangka mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia.















BAB III PENUTUP

Simpulan
            Pendidikan kewarganegaraan memiliki visi dan misi serta struktur keilmuan. Menurut Kementrian Pendidikan Nasional (2003:3) visi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfubgsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (motion and character building) dan pemberdayaan warganegaranya. Sedangkan misinya adalah menjadikan warga negara yang baik yakni warga negara yang memiliki kesadaran polotik dan kesadaran moral.
            Terkait dengan pengembangan nilai multikultural pendidikan kewarganegaraan memberikan pengaruh yang besar.  Pengaruhnya tersebut diberikan melalui materi pembelajaran, nilai, norma, sikap, dan tradisi yang ada dalam masyarakat Indonesia yang bersifat multikultur, sehingga diharapkan peserta didik mampu memahami nilai-nilai multikultural dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan bemasyarakat.















DAFTAR PUSTAKA

Sunarto, dkk. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi. Semarang: UNNES PRESS.
Handoyo, Eko, dkk. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNNES.
http://ft.sunan-ampel.ac.id/publikasi/artikel/137-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html