BAB I PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Pertempuran yang terjadi dimasa
pra-kemerdekaan ataupun pasca-kemerdekaan, telah memberi gambaran konflik yang
terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut merupakan serentetan konflik yang pernah
dialami oleh bangsa ini, sehingga menjadikan 17 Agustus 1945 merupakan lembaran
sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Sebelum dan sesudah itu, bangsa indonesia
mengalami pertentangan-pertentangan yang muncul justru dari para tokoh elit
sosial-poltik bangsa. Sebelumnya mereka
saling membantu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka tidak mengedepankan
hasrat ego mereka masing-masing. Namun setelah kemerdekaan muncullah peristiwa
pemberontakan, yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun 1948, DI/TII ,
PRRI-Permesta, G30 S/PKI, yang berusaha meruntuhkan kesatuan NKRI
.
Keadan itu memiliki makna bahwa “
Bhineka Tunggal Ika “ sesungguhnya hanya teori semata, belum diterapkan secara
nyata oleh bangsa ini. Perkataan itu merupakan cita-cita yang masih perlu
diwujudkan bagi segenap bangsa Indonesia. Akan tetapi, konflik-konflik sosial
didalam masyarakat senantiasa memiliki kedudukan dan pola masing-masing.
Dikarenakan sumber yang menjadi penyebabnya pun memiliki jenis yang tidak sama.
Apabila disodori pertanyaan : faktor laten apakah yang sebenarnya menjadi
penyebab dari munculnya pertentangan yang terjadi diatas, dan apa pula yang
menjadi sumber yang bersifat laten bagi konflik-konflik sosial yang mungkin
saja terjadi di Indonesi dikelak kemudian hari? Hanya melalui pemahaman yang
mendalam mengenai sumber penyebabnya, maka konflik sosial internal bangsa akan
dapat dihindari.
Secara psikologis seseorang memiliki
kecenderungan untuk menekan kenyataan-kenyataan tersebut ke dalam dunia bawah
sadarnya, bukan saja mengira bahwa dengan demikian akan dapat terhindar dari
konflik yang lebih tajam, namun sesungguhnya kebanyakan orang tidak menyukai
kenyataan tersebut. Konflik yang terjadi diantara sesama bangsa Indonesia
adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong-royong yang bangsa ini
muliakan, sesuatu yang menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung
tinggi.
Yang tidak pernah kita sadari
adalah, mekanisme psikologis seperti itu akan membawa kita berlarut-larut
kedalam konflik yang berkepanjangan, dan sulit untuk dipecahkan. Sehingga kita
akan kehilangan kepekaan kita terhadap perkembangan-perkembangan yang akan
dapat memecahkan konflik. Sementara kita terpesona dengan anggapan bahwa
konflik yang terjadi akan dapat kita atasi dengan gotong-royong dan semangat
Bhineka Tunggal Ika, kita akan terkejut dengan kenyataan bahwa konflik yang
terjadi secara tiba-tiba menjadi dahsyat. Dengan menyadari akan adanya
konflik-konflik sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat kita,
memungkinkan kita untuk mencari faktor-faktor penyebabnya melalui pendekatan
gatra sosial budaya serta dampak terhadap ketahanan nasional.
Dalam tinjauan sejarah sebagian dari negara-negara yang
terfragmentasi secara ekstrim ditandai oleh sejarah masa lalu penaklukan
oleh bangsa asing secara kejam, yang diikuti oleh kolonialisme, perbudakan dan
kerja paksa serta bentuk-bentuk segmentasi dan ketimpangan yang sangat
terlembaga antara kelompok-kelompok etnis atau ras. Sebagian dari proses
pembentukan awal ini meninggalkan jejak segmentasi dan kepluralan horizontal
dan vertikal pada bentuk masyarakat tersebut setelahnya dengan berbagai
implikasi secara sosial, budaya dan politik.
Menyimak pengalaman konflik dan
integrasi Indonesia dalam berbangsa dan bernegara tidak dapat tidak dipengaruhi
oleh potensi kemajemukannya yang luar biasa. Potensi keberbedaan secara positif
diakui sebagai suatu kekayaan khasanah budaya, namun juga menyimpan potensi
konflik dan disintegrasi. Oleh karenanya relevan untuk mempelajari susunan
struktur dari sistem sosial budaya yang membentuk Indonesia guna memberi dasar
pemahaman berbagai persoalan yang dihadapi negara se-plural Indonesia.
B. Perumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan aspek
sosial budaya?
2. Bagaimana struktur masyarakat
Indonesia?
3. Bagaimana kondisi budaya di
Indonesia?
4. Bagaimana kaitan antara struktur
masyarakat Indonesia dengan masalah integrasi nasional?
5. Bagaimana ketahanan nasional
dibidang sosial budaya?
BAB
II PEMBAHASAN
1.
Pengertian Aspek Sosial Budaya
Aspek
sosial dan budaya pada dasarnya merupakan sebuah aspek yang masing-masing
memiliki makna yang berbeda. Aspek sosial menyangkut masyarakat, sedangkan
aspek budaya menyangkut kebudayaan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Namun
dalam kenyataannya masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang tak dapat
dipisahkan, sebab dimana ada masyarakat disitu ada kebudayaan dan dapat
dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang inheren dalam masyarakat.
Masyarakat
merupakan sekelompok orang yang hidup bersama cukup lama, mendiami suatu
wilayah tertentu, memiliki kebudayaan sama, dan melakukan sebagian besar
kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton dan Hunt, 1987:59). Sedangkan
kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia yang
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Aspek
sosial biasanya mengacu pada masalah struktur sosial dan pola hubungan sosial
yang ada didalamnya, sedangkan aspek budaya mengacu pada kondisi kebudayaan
yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
2.
Struktur
Masyarakat Indonesia
Struktur masyarakat Indonesia
dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang ditandai oleh adanya
kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-istiadat,
serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia
ditandai oleh adanya perbedaan sosial antara kelas atas dan kelas bawah yang
sangat tajam.
Perbedaan suku-bangsa, agama, adat
dan kedaerahan, merupakan ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.
Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai penggambaran masyarakat
Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ( plural
societies ), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih
elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang
berada pada satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe
masyarakat daerah tropis, dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai
memiliki perbedaan ras.
Dalam kehidupan berpolitik, pertanda
paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk adalah tidak
adanya kehendak bersama ( common will ). Dalam kehidupan
ekonomipun juga tidak ada kehendak bersama, sehingga disimpulkan tidak
adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh
elemen masyarakat ( common social demand ). Menurut
Furnivall, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang
berdaulat, berangsur-angsur melalui periode waktu tertentu membentuk peradaban
dan kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik berupa sastra, seni lukis,
maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan di dalam kehidupan
sehari-hari.
Karakteristik masyarakat majemuk
menurut Pierre L. Van den Berghe adalah:
1. Terjadinya segmentasi kedalam bentuk
kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang
terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-komplementer.
3. Kurang berkembangnya konsensus antar
anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4. Relatif sering terjadi konflik antar
anggota kelompok.
5. Secara relatif integrasi sosial
tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
6. Terjadi domonasi politik oleh
kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia. Pertama, keadaan geografis wilayah
Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar di daerah equator
sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil dari
utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa
Indonesia.
Faktor kedua, yaitu letak Indonesia
yang berada diantara samudera Indonesia dan samudera Pasifik, sangat berpangur
akan terjadinya pluralitas agama di dalam masyarakat. Letak indonesia yang
berada ditengah-tengah jalur persimpangan perdagangan dunia, memungkinkan
Indonesia menerima pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing.
Ketiga, iklim yang berbeda-beda dan
struktur tanah yang tidak sama antara daerah di kepulauan Nusantara ini,
merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia. Perbedaan
curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam
lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni: daerah pertanian sawah (wet
rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan
Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting cultivation) yang
banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabakan
terjadinya kontras perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa di dalam bidang
kependudukan, ekonomi, dab sosial-budaya.
Segala macam perbedaan di atas
merupakan dimensi horizontal struktur masyarakat Indonesia. Sementara secara
vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat dengan semakin berkembangnya
polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan kekayaan. Dengan semakin
berkembangnya dalam sektor ekonomi modern beserta organanisasi administrasi
nasional yang mengikutinya, maka terjadi pelapisan sosial politis yang sangat
kontras antara golongan atas dan golongan bawah. Ketimpangan tersebut berakar
dari zaman Hindia-Belanda, oleh Boeke digambarkan dengan dual economi.
Dalam sisitem dual economi, dua sektor
ekonomi yang berbeda saling berhadapan. Yaitu sekotor ekonomi modern yang lebih
bersifat canggih (sophisticated), banyak berkaitan dengan
perdagangan Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan yang semaksimal
mungkin. Sektor kedua yaitu sektor ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional,
yang menjaga motif keamanan dan kelanggengan tidak berminat untuk mengharap
keuntungan yang maksimal. Perbedaan tersebut secara integral terjadi dalam
keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan dan perkotaan.
3.
Kondisi Budaya di Indonesia
Struktur masyarakat Indonesia telah menimbulkan
keanekaragaman budaya yang ada di tiap daerah. Di Indonesia dijumpai
bermacam-macam suku bangsa, dengan kebudayaan daerah yang menyertai keberadaan
suku tersebut. Demikian pula lapisan sosial yang berbeda dalam masyarakat
membawa perbedaan perilaku yang diwujudkan dalam keadaan tertentu seperti
bahasa yang digunakan, kebiasaan berpakaian,
kebiasaan konsumsi makanan, dan sebagainya. Semua itu tentunya juga
menambah keanekaragaman budaya di Indonesia.
Kebudayaan baru yang lebih penting daripada kebudayaan-kebudayaan
lain dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa adalah kebudayaan nasional
atau kebudayaan Indonesia. Kebudayaan ini tidak sama dengan kebudayaan daerah
tertentu dan tidak sama artinya dengan penjumlahan budaya-budaya daerah di
kepulauan Indonesia. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan kita bersama, yakni
kebudayaan yang mempunyai makana bagi bangsa Indonesia.
Apa
yang disebut dengan kebudayaan bangsa (berarti juga kebudayaan nasional) dalam
penjelaan UUD 1945 dirumuskan sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah
diseluruh Indonesia. “Puncak-puncak kebudayaan” itu artinya adalah kebudayaan
yang diterima dan dijunjung tinggi oleh sebagian besar suku-suku bangsa di
Indonesia, dan memiliki persebaran di sebagian besar wilayah Indonesia.
4.
Struktur
Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional
Struktur masyarakat Indonesia yang
majemuk, melahirkan masyarakat yang bersifat multi-dimensional yang menimbulkan
persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara
horizontal, sementara stratifikasi sosial memberi bentuk integrasi nasional
yang bersifat vertikal.
Van den Berghe menyatakan bahwa
masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan kedalam salah satu jenis masyarakat.
Menurut analisis Emile Durkheim, masyarakat majemuk tidak dapat disamakan
dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmentasi,
tetapi juga tidak dapat digolongkan kedalam masyarakat yang memiliki
diferensiasi dan spesialisasi tinggi. Dalm keadan yang demikian, menggunakan
terminologi Emil Durkheim, maka van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas
mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas
organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagiab-bagian
dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam
masyarakat yang bersifat majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa pendapat
para penganut fungsionalisme struktural masih harus dipertimbangkan
validitasinya untuk menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.
Mengikuti pandangan mereka, suatu
sistem sosial selalu terintegrasi di atas landasan dua hal berikut. Pertama,
suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara
sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat
fundamental. Dari sudut lain, masyarakat senantiasa terintegrasi karena setiap
anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota kesatuan sosial (cross-cutting
affiliations). Karena setiap konflik yang terjadi antar kesatuan
sosial akan segera dinetralisir dengan adanya loyalitas ganda (cross-cutting
loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan
sosial. Keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat yang
bersifat majemuk, karena tanpa keduanya tidak akan terbentuk suatu masyarakat.
Segmentasi dalam bentuk kesatuan
sosial yang terikat dalam primordial dengan sub-kebudayaan yang berbeda satu
sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik antar kelompok sosial. Dalam hal
ini ada dua macam tingkatan konflik yang mungkun terjadi, yaitu:
1. Konflik ideologis.
Konflik
tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial.
2. Konflik politis.
Terjadi
dalam bentuk pertentengan di dalam pembagian status kekuasan, dan sumber ekonomi
yang terbatas ketersediaannya di dalam masyarakat. Di dalam situasi konflik,
maka secara sadar atau tidak sadar, maka anggota kelompok akan mengabdikan diri
dengan cara memperkokoh solidaritas antar anggota.
Dengan adanya masyarakat yang
majemuk, maka melahirkan keanggotan yang saling menyilang. Cross-cutting
affiliations yang telah menyebabkan konflik antar golongan tidak terjadi
terlalu tajam. Konflik suku bangsa misalnya, akan segera meredam oleh
bertemunya loyalitas agama. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi konflik
agama, daerah, atau lapisan sosial. Karena cross-cutting
affiliations senantiasa menghasilkan cross-cutting
liyalities maka pada tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga
terintegrasi atas dasar tumbuhnya perbedaan.
Bersama dengan tumbuhnya konsensus
nasional mengenai nasionalisme Pancasila yang senantiasa beranggapan secara
dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik yeng bersifat coercive, dengan
struktur silang-menyilang itulah Indonesia tetap dapat lestari walau harus
menghadapi permasalahan akibat dari kemajemukan masyarakatnya.
5.
Ketahanan di Bidang Sosial Budaya
Ketahanan di bidang sosial budaya dapat digambarkan
sebagai kondisi dimana masyarakat Indonesia yang diwarnai dengan berbagai
keanekaragaman dan pelapisan berbagai aspeknya dapat terwujud integrasi
nasioanal. Dalam aspek kebudayaan sistem nilai budaya masyarakat Indonesia
mampu menanggapi berbagai pengaruh perubahan dengan cara mempertahankan
nilai-nilai budaya asli yang dianggap baik serta kesediaan untuk menerima pengaruh
yang datang dari luar demi kemajuan bangsa. Dan tentunya dalam menerima
pengaruh dari luar juga melalui tahap filterisasi atau tahap penyaringan, mana
yang baik dan mana yang tidk baik.
Segala perbedaan yang ada dalam masyarakat indonesia
juga hendaknya tidak ditanggapi sebagai keadaan yang menghambat persatuan dan
kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan bangsa yang dapat dijadikan sebagai
sumber bagi pengembangan kehidupan nasional. Dalam hal ini sikap eksklusivisme
yang berlebihan perlu dihindari dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya
suatu konflik. Dengan kata lain perbedaan yang ada tidak dilihat sebagai sebuah
pertentangan akan tetapi sebagai kondisi yang saling melengkapi secara
fungsional. Di situlah pentingnya pemahaman serta pemahaman makna Bhineka
Tunggal Ika.
Dalam pandangan fungsionalisme struktural, suatu
sistem sosial terintegrasi atas dasar dua landasan, yaitu :
·
Masyarakat
terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota
masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang fundamental.
·
Masyarakat
terintegrasi karena warga masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai
kesatuan sosial (cross cutting affiliation). Dalam kondisi demikian maka suatu
konflik yang terjadi di antara satu kesatuan sosial dengan kesatuan sosial
lainnya segera akan ternetralisasi oleh loyalitas ganda dari para anggota
masyarakat terhadap berbagai kesatuan nasional (Nasikun,1993:62).
Mengacu pada aspek yang disebut pertama, maka
aktualisasi Pancasila memiliki peranan yang sangat penting dalam mawujudkan
integrasi masyarakat, karena Pancasila merupakan wujud kesepakatan nilai yang
bersifat fundamental dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mengacu pada aspek kedua pengembangan organisasi masyarakat yang bersifat lintas
suku, lintas agama, lintas budaya, dan lintas perbedaaan lainnya merupakan hal
yan sangat penting dalam rangka mewujudkan integrasi masyarakat, yang berarti
juga mendukung ketahanan sosial.
Di bidang kebudayaan, ketahanan budaya antara lain
ditentukan oleh kemampuan kita menanggapi secara arif pengaruh nilai-nilai
budaya dari luar untuk mengembangkan atau memperkaya, serta meningkatkan
kualitas budaya nasional. Hal itu berarti bahwa kita tidak boleh bersikap
a-priori terhadap nilai-nilai budaya sendiri maupun terhadap nilai-nilai budaya
yang datang dari luar.
Guna memperkokoh ketahan budaya perlu dikembangkan
sistem nilai budaya yang mendukung terjadinya perubahan ke arah kemajuan. Sebab
kemajuan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi seperti
tersedianya modal atau biaya yang cukup, akan tetapi juga ditentukan oleh
faktor-faktor non ekonomi, yang dalam hal ini adalah sistem nilai budaya yang
mendukung kemajuan itu sendiri. Sistem nilai budaya yang dimaksud seperti
kedisiplinan dan menghargai waktu, orientasi ke masa depan, tidak hanya
berserah kepada nasib, percaya akan kemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan sikap menghargai materi tanpa harus menjadi seorang yang materialistis.
Ketahan budaya
juga perlu diwujudkan dengan memberikan ruang dan kesempatan bagi
bermacam-macam kebudayaan daerah untuk tumbuh dan berkembang dengan baik
sehingga memperkaya kebudayaan nasional. Untuk itu diperlukan sikap saling
menghargai di antara pendukung kebudayaan daerah yang berbeda, serta kesediaan
untuk mensikapi berbagai persoalan kebudayaan dengan perspektif sistem nilai
dalam masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dan bukan dengan perspektif sistem
nilai pihak lain.
BAB III PENUTUP
1. Simpulan
Konflik
yang terjadi di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan tidak dapat tidak
dipengaruhi oleh kemajemukan struktur masyarakat Indonesia. Secara positif
kemajemukan struktur masyarakat Indonesia merupakan khasanah budaya yang dapat
memperkaya kebudayaan nasional. Sementara keberadaan keberagaman tersebut juga
menyimpan potensi konflik dan disintegrasi nasional.
Pancasila
memiliki peranan yang sangat penting dalam mawujudkan integrasi masyarakat,
karena Pancasila merupakan wujud kesepakatan nilai yang bersifat fundamental
dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketahanan budaya antara
lain ditentukan oleh kemampuan kita menanggapi secara arif pengaruh nilai-nilai
budaya dari luar untuk mengembangkan atau memperkaya, serta meningkatkan
kualitas budaya nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, dkk. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan
Tinggi. Semarang: UNNES PRESS.
Handoyo, Eko, dkk. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang:
Fakultas Ilmu Sosial UNNES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar