Selasa, 20 November 2012

PKN dan aspek sosial budaya


BAB I PENDAHULUAN

A.    Latarbelakang
Pertempuran yang terjadi dimasa pra-kemerdekaan ataupun pasca-kemerdekaan, telah memberi gambaran konflik yang terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut merupakan serentetan konflik yang pernah dialami oleh bangsa ini, sehingga menjadikan 17 Agustus 1945 merupakan lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Sebelum dan sesudah itu, bangsa indonesia mengalami pertentangan-pertentangan yang muncul justru dari para tokoh elit sosial-poltik bangsa. Sebelumnya  mereka saling membantu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka tidak mengedepankan hasrat ego mereka masing-masing. Namun setelah kemerdekaan muncullah peristiwa pemberontakan, yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun 1948, DI/TII , PRRI-Permesta, G30 S/PKI, yang berusaha meruntuhkan kesatuan NKRI
.
Keadan itu memiliki makna bahwa “ Bhineka Tunggal Ika “ sesungguhnya hanya teori semata, belum diterapkan secara nyata oleh bangsa ini. Perkataan itu merupakan cita-cita yang masih perlu diwujudkan bagi segenap bangsa Indonesia. Akan tetapi, konflik-konflik sosial didalam masyarakat senantiasa memiliki kedudukan dan pola masing-masing. Dikarenakan sumber yang menjadi penyebabnya pun memiliki jenis yang tidak sama. Apabila disodori pertanyaan : faktor laten apakah yang sebenarnya menjadi penyebab dari munculnya pertentangan yang terjadi diatas, dan apa pula yang menjadi sumber yang bersifat laten bagi konflik-konflik sosial yang mungkin saja terjadi di Indonesi dikelak kemudian hari? Hanya melalui pemahaman yang mendalam mengenai sumber penyebabnya, maka konflik sosial internal bangsa akan dapat dihindari.
Secara psikologis seseorang memiliki kecenderungan untuk menekan kenyataan-kenyataan tersebut ke dalam dunia bawah sadarnya, bukan saja mengira bahwa dengan demikian akan dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam, namun sesungguhnya kebanyakan orang tidak menyukai kenyataan tersebut. Konflik yang terjadi diantara sesama bangsa Indonesia adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong-royong yang bangsa ini muliakan, sesuatu yang menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung tinggi.
Yang tidak pernah kita sadari adalah, mekanisme psikologis seperti itu akan membawa kita berlarut-larut kedalam konflik yang berkepanjangan, dan sulit untuk dipecahkan. Sehingga kita akan kehilangan kepekaan kita terhadap perkembangan-perkembangan yang akan dapat memecahkan konflik. Sementara kita terpesona dengan anggapan bahwa konflik yang terjadi akan dapat kita atasi dengan gotong-royong dan semangat Bhineka Tunggal Ika, kita akan terkejut dengan kenyataan bahwa konflik yang terjadi secara tiba-tiba menjadi dahsyat. Dengan menyadari akan adanya konflik-konflik sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat kita, memungkinkan kita untuk mencari faktor-faktor penyebabnya melalui pendekatan gatra sosial budaya serta dampak terhadap ketahanan nasional.
Dalam tinjauan sejarah sebagian dari negara-negara yang terfragmentasi secara ekstrim ditandai oleh  sejarah masa lalu penaklukan oleh bangsa asing secara kejam, yang diikuti oleh kolonialisme, perbudakan dan kerja paksa serta bentuk-bentuk segmentasi dan ketimpangan yang sangat terlembaga antara kelompok-kelompok etnis atau ras. Sebagian dari proses pembentukan awal ini meninggalkan jejak segmentasi dan kepluralan horizontal dan vertikal pada bentuk masyarakat tersebut setelahnya dengan berbagai implikasi secara sosial, budaya dan politik.
Menyimak pengalaman konflik dan integrasi Indonesia dalam berbangsa dan bernegara tidak dapat tidak dipengaruhi oleh potensi kemajemukannya yang luar biasa. Potensi keberbedaan secara positif diakui sebagai suatu kekayaan khasanah budaya, namun juga menyimpan potensi konflik dan disintegrasi. Oleh karenanya relevan untuk mempelajari susunan struktur dari sistem sosial budaya yang membentuk Indonesia guna memberi dasar pemahaman berbagai persoalan yang dihadapi negara se-plural Indonesia.

B.     Perumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan aspek sosial budaya?
2.      Bagaimana struktur masyarakat Indonesia?
3.      Bagaimana kondisi budaya di Indonesia?
4.      Bagaimana kaitan antara struktur masyarakat Indonesia dengan masalah integrasi nasional?
5.      Bagaimana ketahanan nasional dibidang sosial budaya?

BAB II PEMBAHASAN

1.      Pengertian Aspek Sosial Budaya
Aspek sosial dan budaya pada dasarnya merupakan sebuah aspek yang masing-masing memiliki makna yang berbeda. Aspek sosial menyangkut masyarakat, sedangkan aspek budaya menyangkut kebudayaan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Namun dalam kenyataannya masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, sebab dimana ada masyarakat disitu ada kebudayaan dan dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang inheren dalam masyarakat.
Masyarakat merupakan sekelompok orang yang hidup bersama cukup lama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton dan Hunt, 1987:59). Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia yang bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
      Aspek sosial biasanya mengacu pada masalah struktur sosial dan pola hubungan sosial yang ada didalamnya, sedangkan aspek budaya mengacu pada kondisi kebudayaan yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

2.      Struktur Masyarakat Indonesia
Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang ditandai oleh adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-istiadat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan sosial antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam.
Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan, merupakan ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai penggambaran masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ( plural societies ), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang berada pada satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe masyarakat daerah tropis, dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Dalam kehidupan berpolitik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama ( common will ). Dalam kehidupan ekonomipun juga tidak ada kehendak bersama, sehingga disimpulkan tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat ( common social demand )Menurut Furnivall, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik berupa sastra, seni lukis, maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan di dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik masyarakat majemuk menurut Pierre L. Van den Berghe adalah:
1.   Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.   Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-komplementer.
3.   Kurang berkembangnya konsensus antar anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.   Relatif sering terjadi konflik antar anggota kelompok.
5.   Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
6.   Terjadi domonasi politik oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia. Pertama, keadaan geografis wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar di daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa Indonesia.
Faktor kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera Indonesia dan samudera Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama di dalam masyarakat. Letak indonesia yang berada ditengah-tengah jalur persimpangan perdagangan dunia, memungkinkan Indonesia menerima pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing.
Ketiga, iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama antara daerah di kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni: daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting cultivation) yang banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabakan terjadinya kontras perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dab sosial-budaya.
Segala macam perbedaan di atas merupakan dimensi horizontal struktur masyarakat Indonesia. Sementara secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat dengan semakin berkembangnya polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan kekayaan. Dengan semakin berkembangnya dalam sektor ekonomi modern beserta organanisasi administrasi nasional yang mengikutinya, maka terjadi pelapisan sosial politis yang sangat kontras antara golongan atas dan golongan bawah. Ketimpangan tersebut berakar dari zaman Hindia-Belanda, oleh Boeke digambarkan dengan dual economi.
Dalam sisitem dual economi, dua sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan. Yaitu sekotor ekonomi modern yang lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak berkaitan dengan perdagangan Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan yang semaksimal mungkin. Sektor kedua yaitu sektor ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional, yang menjaga motif keamanan dan kelanggengan tidak berminat untuk mengharap keuntungan yang maksimal. Perbedaan tersebut secara integral terjadi dalam keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan dan perkotaan.

3.      Kondisi Budaya di Indonesia
Struktur masyarakat Indonesia telah menimbulkan keanekaragaman budaya yang ada di tiap daerah. Di Indonesia dijumpai bermacam-macam suku bangsa, dengan kebudayaan daerah yang menyertai keberadaan suku tersebut. Demikian pula lapisan sosial yang berbeda dalam masyarakat membawa perbedaan perilaku yang diwujudkan dalam keadaan tertentu seperti bahasa yang digunakan, kebiasaan berpakaian,  kebiasaan konsumsi makanan, dan sebagainya. Semua itu tentunya juga menambah keanekaragaman budaya di Indonesia.
Kebudayaan baru yang lebih penting daripada kebudayaan-kebudayaan lain dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa adalah kebudayaan nasional atau kebudayaan Indonesia. Kebudayaan ini tidak sama dengan kebudayaan daerah tertentu dan tidak sama artinya dengan penjumlahan budaya-budaya daerah di kepulauan Indonesia. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan kita bersama, yakni kebudayaan yang mempunyai makana bagi bangsa Indonesia.
Apa yang disebut dengan kebudayaan bangsa (berarti juga kebudayaan nasional) dalam penjelaan UUD 1945 dirumuskan sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah diseluruh Indonesia. “Puncak-puncak kebudayaan” itu artinya adalah kebudayaan yang diterima dan dijunjung tinggi oleh sebagian besar suku-suku bangsa di Indonesia, dan memiliki persebaran di sebagian besar wilayah Indonesia.

4.      Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional
Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk, melahirkan masyarakat yang bersifat multi-dimensional yang menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial memberi bentuk integrasi nasional yang bersifat vertikal.
Van den Berghe menyatakan bahwa masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan kedalam salah satu jenis masyarakat. Menurut analisis Emile Durkheim, masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmentasi, tetapi juga tidak dapat digolongkan kedalam masyarakat yang memiliki diferensiasi dan spesialisasi tinggi. Dalm keadan yang demikian, menggunakan terminologi Emil Durkheim, maka van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagiab-bagian dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa pendapat para penganut fungsionalisme struktural masih harus dipertimbangkan validitasinya untuk menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.
Mengikuti pandangan mereka, suatu sistem sosial selalu terintegrasi di atas landasan dua hal berikut. Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Dari sudut lain, masyarakat senantiasa terintegrasi karena setiap anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Karena setiap konflik yang terjadi antar kesatuan sosial akan segera dinetralisir dengan adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat yang bersifat majemuk, karena tanpa keduanya tidak akan terbentuk suatu masyarakat.
Segmentasi dalam bentuk kesatuan sosial yang terikat dalam primordial dengan sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik antar kelompok sosial. Dalam hal ini ada dua macam tingkatan konflik yang mungkun terjadi, yaitu:
1.      Konflik ideologis.
Konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial.
2.      Konflik politis.
Terjadi dalam bentuk pertentengan di dalam pembagian status kekuasan, dan sumber ekonomi yang terbatas ketersediaannya di dalam masyarakat. Di dalam situasi konflik, maka secara sadar atau tidak sadar, maka anggota kelompok akan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas antar anggota.
Dengan adanya masyarakat yang majemuk, maka melahirkan keanggotan yang saling menyilang. Cross-cutting affiliations yang telah menyebabkan konflik antar golongan tidak terjadi terlalu tajam. Konflik suku bangsa misalnya, akan segera meredam oleh bertemunya loyalitas agama. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi konflik agama, daerah, atau lapisan sosial. Karena cross-cutting affiliations senantiasa menghasilkan cross-cutting liyalities maka pada tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga terintegrasi atas dasar tumbuhnya perbedaan.
Bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nasionalisme Pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik yeng bersifat coercive, dengan struktur silang-menyilang itulah Indonesia tetap dapat lestari walau harus menghadapi permasalahan akibat dari kemajemukan masyarakatnya.

5.      Ketahanan di Bidang Sosial Budaya
Ketahanan di bidang sosial budaya dapat digambarkan sebagai kondisi dimana masyarakat Indonesia yang diwarnai dengan berbagai keanekaragaman dan pelapisan berbagai aspeknya dapat terwujud integrasi nasioanal. Dalam aspek kebudayaan sistem nilai budaya masyarakat Indonesia mampu menanggapi berbagai pengaruh perubahan dengan cara mempertahankan nilai-nilai budaya asli yang dianggap baik serta kesediaan untuk menerima pengaruh yang datang dari luar demi kemajuan bangsa. Dan tentunya dalam menerima pengaruh dari luar juga melalui tahap filterisasi atau tahap penyaringan, mana yang baik dan mana yang tidk baik.
Segala perbedaan yang ada dalam masyarakat indonesia juga hendaknya tidak ditanggapi sebagai keadaan yang menghambat persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan bangsa yang dapat dijadikan sebagai sumber bagi pengembangan kehidupan nasional. Dalam hal ini sikap eksklusivisme yang berlebihan perlu dihindari dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya suatu konflik. Dengan kata lain perbedaan yang ada tidak dilihat sebagai sebuah pertentangan akan tetapi sebagai kondisi yang saling melengkapi secara fungsional. Di situlah pentingnya pemahaman serta pemahaman makna Bhineka Tunggal Ika.
Dalam pandangan fungsionalisme struktural, suatu sistem sosial terintegrasi atas dasar dua landasan, yaitu :
·   Masyarakat terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang fundamental.
·   Masyarakat terintegrasi karena warga masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliation). Dalam kondisi demikian maka suatu konflik yang terjadi di antara satu kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya segera akan ternetralisasi oleh loyalitas ganda dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan nasional (Nasikun,1993:62).
Mengacu pada aspek yang disebut pertama, maka aktualisasi Pancasila memiliki peranan yang sangat penting dalam mawujudkan integrasi masyarakat, karena Pancasila merupakan wujud kesepakatan nilai yang bersifat fundamental dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mengacu pada aspek kedua pengembangan organisasi masyarakat yang bersifat lintas suku, lintas agama, lintas budaya, dan lintas perbedaaan lainnya merupakan hal yan sangat penting dalam rangka mewujudkan integrasi masyarakat, yang berarti juga mendukung ketahanan sosial.
Di bidang kebudayaan, ketahanan budaya antara lain ditentukan oleh kemampuan kita menanggapi secara arif pengaruh nilai-nilai budaya dari luar untuk mengembangkan atau memperkaya, serta meningkatkan kualitas budaya nasional. Hal itu berarti bahwa kita tidak boleh bersikap a-priori terhadap nilai-nilai budaya sendiri maupun terhadap nilai-nilai budaya yang datang dari luar.
Guna memperkokoh ketahan budaya perlu dikembangkan sistem nilai budaya yang mendukung terjadinya perubahan ke arah kemajuan. Sebab kemajuan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi seperti tersedianya modal atau biaya yang cukup, akan tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor non ekonomi, yang dalam hal ini adalah sistem nilai budaya yang mendukung kemajuan itu sendiri. Sistem nilai budaya yang dimaksud seperti kedisiplinan dan menghargai waktu, orientasi ke masa depan, tidak hanya berserah kepada nasib, percaya akan kemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sikap menghargai materi tanpa harus menjadi seorang yang materialistis.
Ketahan budaya juga perlu diwujudkan dengan memberikan ruang dan kesempatan bagi bermacam-macam kebudayaan daerah untuk tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga memperkaya kebudayaan nasional. Untuk itu diperlukan sikap saling menghargai di antara pendukung kebudayaan daerah yang berbeda, serta kesediaan untuk mensikapi berbagai persoalan kebudayaan dengan perspektif sistem nilai dalam masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dan bukan dengan perspektif sistem nilai pihak lain.

BAB III PENUTUP

1.      Simpulan
Konflik yang terjadi di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan tidak dapat tidak dipengaruhi oleh kemajemukan struktur masyarakat Indonesia. Secara positif kemajemukan struktur masyarakat Indonesia merupakan khasanah budaya yang dapat memperkaya kebudayaan nasional. Sementara keberadaan keberagaman tersebut juga menyimpan potensi konflik dan disintegrasi nasional.
Pancasila memiliki peranan yang sangat penting dalam mawujudkan integrasi masyarakat, karena Pancasila merupakan wujud kesepakatan nilai yang bersifat fundamental dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketahanan budaya antara lain ditentukan oleh kemampuan kita menanggapi secara arif pengaruh nilai-nilai budaya dari luar untuk mengembangkan atau memperkaya, serta meningkatkan kualitas budaya nasional.


DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, dkk. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi. Semarang: UNNES PRESS.
Handoyo, Eko, dkk. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNNES.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar