Sabtu, 06 Juli 2013

HUBUNGAN PATRON KLIEN PEDAGANG ”BURJO” DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARA


Abdul Ghofur
3401411127

PENDAHULUAN
Universitas Negeri Semarang (Unnes) merupakan salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang terletak di Kelurahan Sekaran, Kecamatan Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah. Unnes dengan mengusung semangat konservasi, serta sehat, unggul, dan sejahtera (Sutera) menjadikan Unnes semakin diminati sebagai pilihan studi lanjutan. Tahun 2013, jumlah pendaftar Unnes dalam Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negri (SBMPTN) mencapai 44.510 orang untuk memperebutkan 2308 kursi (Suara Merdeka, Sabtu 9/6-13).
Saat ini, jumlah mahasiswa aktif Unnes kurang lebih 36.000 orang, maka dapat diperkirakan total jumlah mahasiswa Unnes pada tahun ajaran 2013/2014 akan melebihi angka 40.000 orang. Sebagai konsekuensinya, lingkungan Unnes menjadi makin padat pemukiman dan mobilitas ekonomi makin tinggi, karena setiap individu memiliki kebutuhan masing-masing yang harus dipenuhi setiap harinya.
Selain calon mahasiswa, Unnes memiliki daya tarik tersendiri bagi para investor. Lingkungan padat penduduk (Unnes) merupakan lahan subur bagi para investor untuk mengembangkan usahanya, salah satunya yaitu warung makan dan ngopi atau yang disebut “BURJO” di lingkungan Unnes. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan disajikan mengenai Hubungan Patron Klien Pedagang ”Burjo” di Iingkungan Universitas Negeri Semarang.
Kasus; Pedagang “Burjo” Di Lingkungan Unnes
“Burjo” merupakan singkatan dari Bubur Kacang Ijo, sebuah identitas makanan khas dari Kuningan, Jawa Barat1. Saat ini burjo dapat ditemui diberbagai wilayah Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Purwakarta,

Surakarta, dan daerah-daerah lainnya terutama di lingkungan Perguruan Tinggi. Dalam konteks ini “Burjo” merupakan sebutan warung yang menjual menu utama bubur kacang hijau serta makanan instan dan siap saji di lingkungan Unnes. Akan tetapi tidak semua sebutan nama warung Burjo adalah dengan nama tersebut. Di Jakarta misalnya sebutan untuk nama warung Burjo ini adalah Warkop (Warung Kopi).
Pemilik warung Burjo di lingkungan Unnes pada umumnya berasal dari Kuningan, Jawa barat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki modal untuk mendirikan usaha Burjo, membangun warung dan isinya, menyewa tanah, dan memenuhi kebutuhan vital pegawainya1. Bentuk kepemilikan usaha Burjo merupakan usaha perseorangan ataupun persekutuan. Jika bentuk persekutuan maka pembagian hasil usaha ( laba) dapat dibagi rata dalam bentuk jumlah uang, atau dengan cara pembagian waktu  operasional warung2. Di lingkungan Unnes, pemilik modal selalu berusaha mengembangkan usaha Burjo-Nya, dari mulai 1 warung sampai dengan beberapa warung yang didirikannya, seperti halnya warung Burjo, “LASKAR”, pada tahun 2013 ini terdapat 4 warung yang telah didirikannya dari tahun 2009. Tidak ada sebutan khusus untuk pemilik modal, pekerja memanggil pemilik modal dengan sebutan kekerabatannya.
Pedagang Burjo atau penjaga warung adalah mereka yang ikut bekerja pada pemilik modal dan yang diajak atau dipekerjakan oleh pemilik modal, dan biasanya mereka adalah saudara atau tetangga dari pemilik modal, serta pekerja lain. Akan tetapi bentuk kesepakatan dari pemilik modal dengan pekerjanya tersebut berbeda-beda. Kesepakatan awal antara pemilik modal dengan saudara (pekerja) pemberian upah dilakukan dengan sistem bagi hasil dan tidak ada tuntutan-tuntutan atau target penjualan dari pemilik modal serta memiliki hak kendali terhadap operasional warung. Sedangkan pada tetangga ataupun pekerja lain sistem pemberian upah diberikan dengan nominal tertentu setiap satu bulan, dan ada tuntutan tertentu, serta hak kendali operasional warung terbatas.
Pedagang Burjo dalam satu warung umumnya berjumlah dua orang, hal ini dikarenakan Burjo buka 24 jam non stop, sehingga sitem kerja shift (siang-malam) dilakukan bergiliran oleh mereka. Kondisi tersebut membutuhkan tenaga ekstra bagi pedagang Burjo, sehingga menyebabkan kelelahan bahkan sakit. Saat pedagang Burjo ada yang sakit, pemilik modal akan datang ke warung dan mengantarkannya pergi berobat serta menangung biaya pengobatan.
LANDASAN KONSEPTUAL; Hubungan Patron Klien
Kajian Teoretis Scott (1972: 92) mengemukakan hubungan patron klien  sebagai suatu keadaan khusus dari persekutuan dyadic (dua orang) yang melibatkan sebagian besar persahabatan, sementara seorang atau kelompok yang berstatus sosial ekonomi lebih tinggi berperan sebagai patron, menggunakan pengaruh, dan penghasilannya untuk memberikan perlindungan dan kebaikan kepada seseorang atau kelompok yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Kelompok ini berperan sebagai klien, bersedia membalas budi berupa dukungan menyeluruh yang meliputi pelayanan pribadi kepada patron.
Selanjutnya, Scott (1972) mengemukakan ciri hubungan patron klien yang membedakan dengan hubungan sosial lain. Ciri pertama: adanya ketidakseimbangan (inequality) dalam pertukaran. Ketidakseimbangan terjadi karena patron berada dalam posisi pemberi barang atau jasa yang sangat diperlukan bagi klien dan keluarganya agar mereka dapat tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri klien muncul akibat pemberian tersebut, selama pemberian itu masih mampu memenuhi kebutuhan klien yang paling pokok. Jika klien merasa apa yang dia berikan tidak dibalas sepantasnya oleh patron, dia akan melepaskan diri dari hubungan tersebut tanpa sangsi. Ahimsa (1996: 32) juga mengatakan bahwa dalam hubungan patron harus didukung oleh norma-norma masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien) melakukan penawaran, artinya jika salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi seperti yang diharapkan, dia dapat menarik diri dari hubungan itu tanpa sangsi. Dengan demikian, ketidakseimbangan akan lebih tepat jika dipandang dari sisi kelebihan patron dalam hal status, posisi, kekayaan, sedangkan barang ataupun jasa yang dipertukarkan akan mempunyai nilai seimbang. Hal ini dimungkinkan karena nilai barang atau jasa itu sangat ditentukan oleh para pelaku pertukaran itu, makin dibutuhkan barang atau jasa itu makin tinggi pula nilai barang itu baginya.
Ciri kedua: adalah sifat tatap muka. Sifat ini memberi makna bahwa hubungan patron klien adalah hubungan pribadi, yaitu hubungan yang didasari rasa saling percaya. Masing-masing pihak mengandalkan penuh pada kepercayaan, karena hubungan ini tidak disertai perjanjian tertulis. Dengan demikian, walaupun hubungan patron klien bersifat instrumental, artinya kedua belah pihak memperhitungkan untung-rugi, namun unsur rasa selalu menyertai.
Ciri ketiga adalah sifatnya luwes dan meluas. Dalam relasi ini bantuan yang diminta patron dapat bermacam-macam, mulai membantu memperbaiki rumah, mengolah tanah, sampai ke kampanye politik. Klien mendapat bantuan tidak hanya pada saat mengalami musibah, tetapi juga bila mengalami kesulitan mengurus sesuatu. Dengan kata lain, hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, sekaligus sebagai jaminan sosial bagi mereka.
ANALISIS KASUS
Scott (1972: 92) mengemukakan hubungan patron klien  sebagai suatu keadaan khusus dari persekutuan dyadic (dua orang) yang melibatkan sebagian besar persahabatan, sementara seorang atau kelompok yang berstatus sosial ekonomi lebih tinggi berperan sebagai patron, menggunakan pengaruh, dan penghasilannya untuk memberikan perlindungan dan kebaikan kepada seseorang atau kelompok yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Kelompok ini berperan sebagai klien, bersedia membalas budi berupa dukungan menyeluruh yang meliputi pelayanan pribadi kepada patron.  pandangan tersebut memberi petunjuk bagi yang memiliki atau menguasai sumber daya yang diperlukan dalam masyarakat dan hubungan patron klien itu berlangsung adalah patron, sebaliknya bagi yang tidak menguasai sumber daya langka berada pada posisi klien.
Pada kalangan pedagang Burjo,yang dipandang sebagai patron adalah pemilik modal. Peranan pemilik modal tidak hanya sebatas menyediakan warung, namun juga menyediakan bahan baku, menyewa tanah, menyediakan perlengkapan berjualan, mencarikan lokasi usaha, dan menyediakan modal bahan baku, serta memenuhi kebutuhan vital pegawai. Kebutuhan vital ini adalah seperti kebutuhan makan sehari-hari, menyediakan kamar tidur, dan kamar mandi yang tidak terdapat dalam warungnya. Sumber daya secara nyata yang dimiliki pemilik modal dapat dilihat dari kekuatan pemilik modal untuk mendirikan warung empat sampai delapan warung atau menampung delapan sampai lima belas pedagang Burjo.
Sumber daya andalan pemilik modal Burjo adalah tenaga kerja, kejujuran, dan loyalitas kerja. Sumber daya ini dipandang lebih rendah dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki pemilik modal karena ada anggapan bahwa sumber daya tersebut mudah digantikan orang lain. Pandangan tersebut memberi isyarat kedudukan pedagang Burjo lemah. Namun, selemah apapun posisi pedagang Burjo tetap besar artinya bagi pemilik modal sebab tanpa kehadiran pedagang Burjo pemilik modal tidak akan terlihat memiliki sumber daya lebih.
Sumber daya yang dimiliki tiap-tiap pihak kemudian dipertukarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Besarnya keuntungan yang diperoleh tiap-tiap pihak tidaklah sama. Pedagang Burjo yang masih saudara dengan pemilik modal menyatakan bahwa keuntungannya bergantung ramai tidaknya pembeli, hal ini dikarenakan sistem upah bagi hasil. Berbeda dengan pedagang Burjo yang bukan saudara, upah yang diterima diberikan setiap bulannya dengan jumlah yang sama, kecuali jika dalam dua bulan warung selalu ramai, maka dia akan mendapatkan bonus dari pemilik modal. Menurut pedagang Burjo ini keuntungan terbesar diperoleh pemilik modal. Secara objektif dan rasional hal ini wajar karena pemilik modal sebagai pemilik modal sudah semestinya mendapatkan untung lebih besar. Walaupun pedagang Burjo bekerja keras menjajakan dagangan 24 jam non stop, dan pemilik modal hanya diam di rumah. Akan tetapi besarnya keuntungan maupun upah tersebut menjadikan mereka bertahan menjadi pedagang Burjo daripada harus jadi pengangguan di rumah.
Faktor lain yang menjadikan pedagang Burjo bertahan dalam hubungan patron klien adalah risiko kegagalan usaha, seperti jatuh bangkrut, keuntungan tidak memadai, kesulitan mendapatkan lokasi usaha yang strategis karena itu tidak mau mandiri. Dengan demikian, apa yang semula diperhitungkan bahwa terjadi ketidakseimbangan keuntungan, ternyata bagi pihak-pihak yang terlibat dalarn pola hubungan itu mempunyai penilaian sendiri-sendiri terhadap nilai barang yang mereka pertukarkan, semakin dibutuhkan barang atau jasa maka semakin tinggi pula nilai barang itu baginya. Bagi Pemilik modal, kesetiaan, kejujuran, serta tenaga kerja yang dimiliki pedagang Burjo kliennya mempunyai nilai yang tinggi.
Sekalipun hubungan telah mereka jalin dengan baik, namun tidak tertutup kemungkinan putusnya hubungan. Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena salah satu pihak dengan alasan tertentu tidak bersedia lagi menjalin hubungan. Hasil penelitian menunjukkan pemah terjadi pemutusan hubungan kerja dari pihak pemilik modal yang dikarenakan pedagang melakukan korupsi. Dari pihak pedagang Burjo alasan yang paling menonjol putusnya hubungan kerja adalah karena telah dapat berdiri sendiri, kemudian mengajak rekan lain dari kampungnya. Hal itu berarti pedagang Burjo telah berhasil menjadi patron bagi klien yang lain. Selain itu pemutusan hubungan terjadi karena patron menjual usahanya pada pemilik modal yang lain, jika seperti hal ini terjadi, klien dapat memilih untuk ikut pada pemilik modal yang baru ataupun menunggu patronya mendirikan Burjo lagi.
Walaupun telah terjadi pemutusan hubungan kerja dengan pemilik modal, namun hubungan di luar pekerjaan masih mereka pelihara dengan baik. Dalam rangka merekrut anak buah, pemilik modal lebih suka mengambil saudara maupun tetangga dari desanya terutama saudara, dengan alasan sudah saling mengenal. Hal ini dilakukan berkaitan dengan rasa saling percaya, karena pada dasaarya pembentukan hubungan patron klien tidak sepenuhnya legal bahkan lebih banyak bersifat informal.
Ukuran pemilik modal dapat dipercaya dilihat dari sikapnya yang cepat tanggap dan kesediaan untuk segera membantu setiap kesulitan yang dialami anak buahnya. Kepercayaan pemilik modal secara nyata ditunjukkan pada saat pedagang Burjo membutuhkan pinjaman uang. Pada saat transaksi berlangsung sampai pelunasan hutang, pemilik modal tidak memerlukan saksi. Pemilik modal juga tidak mensyaratkan barang atau surat-surat berharga sebagai jaminan. Kepercayaan lain ditunjukkan dengan pemberian berbagai hadiah seperti uang, pakaian, dan makanan

menjelang lebaran. Pemberian hadiah tersebut juga dimaksudkan untuk mempertahankan hubungan jangka panjang, untuk memikat hati, menghilangkan prasangka-prasangka jelek, dan rasa kurang puas.
Sementara itu, kepercayaan pedagang Burjo ditunjukkan dengan sikap jujur, loyalitas kerja yang tinggi, dan kepatuhan untuk melakukan pekerjaan untuk kepentingan keluarga pemilik modal. Hal ini penting karena hubungan kerja yang terjalin bersifat sukarela, tanpa perjanjian tertulis seperti layaknya suatu perusahaan.
Terjadinya Hubungan Patron Klien pada Pedagang Burjo merupakan bagian dari berkembangnya hubungan patron klien di kawasan Asia Tenggara, menurut Scott (dalam Ahimsa, 1996: 36) disebabkan oleh (1) Adanya ketimpangan mencolok dalam penguasaan atas kekayaan, status dan kekuasaan, mengingat hal ini sedikit banyak dianggap sah oleh mereka yang terlibat di dalamnya; (2) Tidak adanya pranata yang menjamin keamanan individu, baik yang menyangkut status maupun kekayaan; (3) Tidak dapat diandalkannya ikatan kekerabatan saja sebagai sarana satu-satunya mencari perlindungan serta memajukan diri. Kondisi-kondisi yang dikemukakan Scott tersebut memang hadir di kalangan pedagang Burjo.
Ketimpangan Penguasaan Kekayaan, Status, dan Kekuasaan Sebagai masyarakat pedagang, indikator utama adalah modal usaha. Modal usaha digunakan untuk menyiapkan pondok, sewa tanah, peralatan membuat minuman dan makanan, serta peralatan lainnya, sedangkan modal harian diperlukan untuk membeli stok barang dagangan . Modal yang dibutuhkan tersebut dirasakan pedagang burjo sangat berat, mengingat latar belakang pedagang Burjo di lingkungan Unnes berasal dari golongan ekonomi lemah1.
Ketidakamanan Fisik dan Sosial Kondisi lain menurut Scott (dalam Ahimsa, 1996: 34) yang juga mendukung kehadiran hubungan patron klien adalah ketidakamanan fisik dan sosial di tengah kelangkaan komoditi penting yang diperlukan. Jalan terbaik bagi mereka adalah menempel atau bergantung kepada seseorang yang lebih berkuasa, yang lebih mampu melindungi atau memberi mereka segala sesuatu yang diperlukan. Begitu juga kondisi yang dialami pedagang Burjo. Suasana tidak aman baik fisik ataupun sosial akan dirasakan apabila kedatangan mereka tanpa bantuan kenalan, saudara, sahabat yang bersedia memberi jaminan fisik ataupun sosial. Pihak yang bersedia memberikan jaminan fisik dan sosial ini disebut sebagai patron. Jaminan fisik dan sosial yang diberikan pemilik modal adalah tempat tinggal, mengusahakan izin tinggal, memberi pekerjaan, dan menjamin kehidupan sehari-hari termasuk keluarga di kampung dari pedagang yang sudah beristri. Selain itu patron juga memberikan jaminan kesehatan pada pekerjanya.
Jaminan Sosial dan Kelompok Kekerabatan Berkenaan dengan peranan kelompok kekerabatan, situasi di Jawa, khususnya di daerah penelitian sesuai dengan temuan Scott (dalam Ahimsa, 1996: 36) di daerah Asia Tenggara pada umumnya yaitu tidak dapat diandalkannya ikatan kekerabatan sebagai sarana satu-satunya mencari perlindungan serta mamajukan diri. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tiap-tiap keluarga inti benar-benar bertanggung jawab atas tercukupinya kebutuhan keluarganya. Makin bertambahnya kebutuhan ekonomi masa kini yang tidak dapat lagi dipenuhi oleh rumah tangganya sendiri, dan seiring dengan langkanya tanah dan tidak tersediannya tanah baru yang dapat dikerjakan sebagai lahan pertanian maka orang Kuningan Jawa Barat makin bergantung kepada berbagai pranata lain dalam masyarakat. Salah satu pranata tersebut adalah hubungan patron klien.
PENUTUP
            Hubungan patron-klien pedagang Burjo merupakan salah satu bentuk hubungan pertukaran khusus antara dua pihak, yakni antara mereka yang mempunyai status, kekayaan dan kekuatan lebih tinggi (pemilik modal) dengan mereka yang memiliki status dan kekayaan lebih rendah (pedagang Burjo). Terjadinya hubungan tersebut dikarenakan kepemilikan sumber daya usaha, unit kekerabatan, dan kebutuhan ekonomi sehari-hari. Selain itu pada kalangan pedagang burjo juga terdapat hubungan antra patron dengan patron dan masing-masing patron memiliki hubungan dengan kliennya masing-masing pula dalam satu usaha “Burjo”.


DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa, H. 1988. Minawang; Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hefni, Moh. 2009. Patron-Client Relationship Pada Masyarakat Madura. Dalam Jurnal Karsa. No. 01  hal 15-24.
James C Scott. (1972). Patron Client Politics and Change In South East Asia (dalam Friends, Followers, and Factions, A Reader In Political Clientalism), diedit oleh Steffen W Schmidt., et.al. Berkeley Los Angeles, London: University of California Press. (melalui www.wordprees.com )