I.
RIWAYAT
HIDUP WEBER
Max Weber lahir di
Erfrut, Thuringia, Jerman pada tahun 1864, tetapi dibesarkan di Berlin dimana
keluarganya pindah ketika dia berumur 5 tahun. Keluarganya dari kelas menengah. Ayahnya adalah seorang
hakim di Erfrurt dan ketika di Berlin menjadi seorang penasihat di pemerintahan
kota dan kemudian menjadi anggota Prussian House of Deputies dan Jerman
Reichstag. Ibu Weber , Helene Fallenstien Weber, memiliki watak yang berbeda.
Keyskinan agamanya serta perasaan Calvinis jauh lebih besar daripada suaminya.
Perbedaan antara orang tuanya tersebut membawa dampak besar pada orientasi
intelektual dan perkembangan psikologisnya.
Ketika masih kecil,
Weber adalah seoreang pemalu dan sering sakit, tetapi dia sangat jenius. Dia
membaca dan menulis sesuatu secara ilmiah. Pada usia 18 tahun, Max Weber mulai
mempelajari hukum di Universitas Heidelberg. Weber meninggalkan Heidelberg
untuk menjalani wajib militer, dimana dia menjalin hubungan erat dengan
pamannya bernama Herman Baumgarten dan tantenya bernama Ida. Keluarga
Baumgarten memperlakukan Weber dengan suatu sikap hormat intelektual,
kehangatan emosional, dan Weber sanat terpengaruhi mereka, sebagai akibatnya
Weber lebih banyak mengikuti ibunya. Perhatian Weber dalam bidang teori
mengenai pengaruh ide-ide dan kepentingan
dalam mengendalikan prilaku manusia tergambar dalam keluaganya. Ayahnya
memberikan prioritas pada kepentingan politik dan ekonomi, sedangkan ibunya dan
keluarga Baumgarten memberikan prioritas kepada ideal-ideal etika
protestantisme. Pada tahun 1884 kembali
ke Berlin dan pada tahun 1889 dia menyelesaikan tesis doktornya. Dia menjadi pengacara dan mulai mengajar di
Universitas Berlin.
1.
Gangguan
dalam Karir Akademisnya
Weber mualai
membangkitkan seluruh waktunya untuk kehidupan akademisnya ketika dia menerima
kedudukan sebagai professor ekonomi di Universitas Freiburg tahun 1894. Pada
tahun 1896, giatnya dalam bekerja ini membawanya pada posisi sebagai profesor
ekonomi di Heidelberg.
Pada tahun 1897, ketika
karier akademik berkembang, ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat
dan diusir oleh Max dari runah. Hal ini membuat Weber merasa bersalah sehingga
kesehatan fisik dan psikologinya terganggu selama bertahun –tahun. Tahun1899 dia harus dirawat dirumah sakit
untuk beberapa minggu. Pada tahun 1903 tidak sampai tahun 1904, ketika ia
menyampaikan kuliah perdananya dalam waktu enam setengah tahun, Weber mampu
kembali aktif kedalam kehidupan akademik.
Dalam kehidupan Weber,
dan lebih penting lagi dalam karya-karyanya, terdapat ketegangan antara pikiran
birokratis, sebagaimana ditampilkan oleh sang ayah, dengan religiosistas
ibunya. Ketegangan yang tak terpecahkan itu merasuk ke dalam karya Weber dan
pada 14 Juni 1920 dia meninggal karena menderita penemoni; sebagian besar
karirnya tidak selesai.
2.
Iklim
Sosial dan Politik
Struktur sosial dan
politik jerman pada masa Weber sangatlah tegang dan penuh kontradiksi, seperti
halnya dalam keluarganya. Weber menentang ekspansi yang tidak realistic,
kadang- kadang mengalami putus asa karena kebijakan Jerman. Iklim sosial dan
politik di Jerman sebagaiannya merupakan akibat dari kenyataan bahwa revolusi industri
dan perubahan yang berhubungan dengan revolusi itu dalam bidang ekonomi lebih
kemudian daripada di Inggris dan Prancis.
Pada masa muda Weber di
tahap-tahap awal karirnya, industrialisai mulai dengan kecepatan yang cukup
tinggi. Inggris merupakan model suatu masyarakat industri yang kuat dengan
perhatian colonial ke penjuru dunia. Perkembangan kekuasaan di Jerman dianggap
penting untuk mencegah dominasi politik-budaya Inggris dan Rusia.
Jerman belum mengalami
suatu revolusi yang menyeluruh dan menentukan seperti revolusi Prancis, karena
itu system nilai tradisional masih sangat berpengaruh. Struktur politik,
khususnya pelayanan umum, masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
konservatif. Struktur ekonomi saemakin dikuasai oleh system industry dan
bojuis, sedangkan system niali budaya dan struktur politik nasih didominasi oleh
nilai- nilai semifeodal yang tradisional dan konservatisme birokratis.
Soisologi Weber harus
dimengerti dalam konteks latar belakang sosial politik masyarakat Jerman,
dimana Jerman mengalami transisi dari suatu masyarakat yang sangat bersifat
agraris ke masyarakat yang bersifat industri dan perkotaan. Transisi ini
disertai oleh rasionalisasi yang semakin bertambah dalam semua bidang kehidupan
politik dan ekonomi.
II.
TINDAKAN
INDIVIDU DAN ARTI SUBYEKTIF
Weber sangat tertarik
pada masalah sosiologis yang luas mengenai struktur sosial dan kebudayaan, tapi
dia melihat bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri dari
individu-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti.
1. Gambaran
Weber tentang Kenyataan Sosial vs Durkheim
Durkheim melihat kenyataan
sosial sebagai sesuatu yang mengatasi individu, berada pada suatu tingkat yang
bebas; Weber melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada
motivasi individu dan tindakan sosial. Durkheim melihat masyarakat sebagai
sesuatu yang riil, berada terlepas dari individu dan bekerja menurut prinsipnya
yang khas. Teori itu membandingkan masyarakat dengan organism biologis dalam
pengertian bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan lebih; Weber melihat kaum
nominalis berpendirian bahwa hanya individulah yang riil secara obyektif, dan
bahwa masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan
individu-individu. Perbedaan penting lainnya adalah mengenai proses-proses
subyektif. Tujuan Weber untuk masuk ke segala sesuatu yang berhubungan dengan
“kategori interaksi manusia”. Latar belakang intelektual di masa Weber
menekankan pada idealisme dan historisisme.
2. Menjelaskan
Tindakan Sosial Melalui Pemahaman Subyektif
Aspek pemikiran Weber
yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman
subyektif). Hasil dari kegagalan teoretisi sosial adalah berupa suatu filsafat
sosial atau interpretasi keliru mengenai perilaku manusia. Weber berpendirian
bahwa sosiologi haruslah merupakan ilmu empirik, sosiologi harus menganalisa
perilaku actual manusia individual. Weber mempertahankan bahwa pengetahuan
ilmiah tidak pernah dapat merupakan suatu dasar untuk memberikan pertimbangan
nilai. Weber mengakui bahwa nilai mempengaruhi karya ilmiah. Obyektivitas dan
netralitas nilai masih diakui sebagai bagian dari warisan Weber untuk sosiologi
masa kini.
3. Analisa
Tipe Ideal: dari Peristiwa Unik ke Proporsi Umum
Weber mengemukakan
bahwa “suatu tipe ideal dibentuk dengan suatu penekanan yang berat sebelah
mengenai satu pokok pandangan atau lebih atau dengan sintesa dari
gejala-gejala individual kongkret, yang sangat tersebar, memiliki sifatnya
sendiri yang kurang lebih ada dan kadang tidak ada, yang diatur menurut titik
pandangan yang diberi tekanan secara berat kedalam suatu konstruk analistis yang
terpadu”. Tipe ideal yang paling terkenal dari Weber adalah birokrasi.
Dengan cara ini Weber dapat mempelajari satuan-satuan sosial yang lebih besar,
yang didasarkan pada tindakan yang khas, dari individu yang khas, dalam situasi
sosial yang khas pula.
III. TIPE-TIPE TINDAKAN SOSIAL
Weber membedakan
tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang konsep perilaku
dimaksudkan sebagai perilaku otomatis yang tidak melibatkan proses pemikiran.
Stimulus datang dan perilaku terjadi, dengan sedikit saja jeda antara stimulus
dan respons. Ia memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas campur
tangan proses pemikiran antara terjadinya stimulus dan respons.
Dalam teori
tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu,
pola regulitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Yang terpenting adalah
pembedaan yang dilakukan Weber terhadap kedua tipe dasar tindakan rasional.
1.
Rasionalitas
Instrumental (Zweckkrationalitat)
Tindakan ini
dilakukan seseorang dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan
dengan tujuan yang akan dicapai. Rasionalitas
sarana-tujuan adalah tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap
perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain.
2.
Rasionalitas
yang Berorientasi Nilai (Wertrationalitat)
Tindakan ini bersifat rasional dan
memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu
dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanya beranggapan bahwa yang paling penting
tindakan itu termasuk dalam kriteria baik dan benar menurut ukuran dan
penilaian masyarakat di sekitarnya. Rasionalitas
nilai adalah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan
nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang
terlepas dari prospek keberhasilannya.
3.
Tindakan
Tradisional
Tindakan
tradisional adalah tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang
biasa dan telah lazim dilakukan. Tindakan ini merupakan tindakan yang
tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan
terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan.
4.
Tindakan
Afektif
Tipe
tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorsng yang sedang mengalami
perasaan meluap-luap seperti cinta, ketakutan, kemarahan, atau kegembiraan, dan
secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang
memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena
kurangnya pertimbangan yang logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas
lainnya.
IV. TINDAKAN SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL
1.
Stratifikasi:
Ekonomi, Budaya, dan Politik
Aspek terpenting dari
analisis ini adalah bahwa Weber tidak mau mereduksi stratifikasi menjadi
sekedar faktor ekonomi, melainkan melihatnya sebagai sesuatu yang bersifat
multidimensional. Jadi, masyarakat terstratifikasi menurut basis ekonomi,
status, dan kekuasaan.Weber menyatakan bahwa situasi kelas hadir ketika ketiga
syarat dibawah ini terpenuhi :(1)Sejumlah orang memiliki kesamaan komponen
kausal spesifik peluang hidup mereka, sejauh (2) Komponen ini hanya
direpresentasikan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan barang atau
peluang untuk memperoleh pendapatan, dan (3) Direpresentasikan menurut
syarat-syarat komoditas atau pasar tenaga kerja. Jadi, kelas bukanlah
komunitas, melainkan sekedar sekelompok orang yang berada dalam situasi ekonomi
atau situasi pasar yang sama.
Berlawanan dengan
kelas, biasanya status merujuk pada komunitas, kelompok status biasanya berupa
komunitas, kendati sedikit agak terbentuk. Status didefinisikan Weber sebagai
setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial
tentang derajat martabat tertentu, positif atau negative.
Kalau kelas hadir dalam
tatanan ekonomi dan kelompok status hadir dalam tatanan sosial, partai dapat
ditemukan dalam tatanan politik. Bagi Weber, partai selalu merupakan struktur
yang berjuang untuk meraih dominasi. Jadi, partai adalah elemen paling teratur
dalam sistem stratifikasi Weber.
2.
Tipe
Otoritas dan Bentuk Organisasi Sosial
Weber bukanlah seorang
politis radikal. Weber memilih demokrasi sebagai bentuk politik bukan karena ia
percaya pada massa namun karena demokrasi menawarkan dinamika maksimal dan
merupakan mileu terbaik untuk menciptakan pemimpin politik. Weber selalu
mengawali analisisnya tentang struktur otoritas dengan asumsinya tentang
hakikat dan sifat dasar tindakan. Ia mendefinisikan dominasi sebagai
probabilitas suatu perintah tertentu akan dipatuhi oelh sekelompok orang. Yang
terutama menarik perhatian Weber adalah bentuk dominasi yang sah, atau yang
disebutnya dengan otoritas.
Otoritas
tradisional : otoritas tradisional didasarkan pada klaim pemimpin dan
keyakinan para pengikutnya bahwa terdapat kelebihan dalam kesucian aturan dan
kekuasaan yang telah berusia tua. Pemimpin dalam sistem semacam itu bukan
penguasa superior, namun personal. Alasan penting orang taat pada struktur
otorirtas ini adalah kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah ada. Hubungan antar
tokoh yan memiliki otoritas dan bawahannya merupakan hubungan pribadi. Weber
membedakan tiga otoritas tradisional; gerontokrasi, patriarkalisme, dan
patrimonialisme.
Otoritas
karismatik : Weber tidak menyangkal bahwa pemimpin karismatik dapat
memiliki ciri menonjol, karismanya lebih tergantung pada kelompok pengikut dan
bagaimana mereka mendefinisikan pemimpin karismatik.yang krusial dalam proses
inin adalah ketika seorang pemimpin dipisahkan dari orang biasa dan
diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan atau kualitas supranatural,
supermanusia, atau skeurang-kurangnya kekuatan tidak lazim yang tidak dapat
dimiliki oleh orang biasa.
Karisma dan
revolusi : bagi Weber, karisma adalah kekuatan revolusioner. Yang
membedakan karisma sebagai kekuatan revolusioner adalah bahwa dia menyebabkan
berubahnya pikiran aktor, ini menyebabkan reorientasi subjektif atau internal.
Organisasi karismatik
dan rutinisasi karisma : minat Weber pada organisasi dibelakang pemimpin
karismatik dan staf yang ada didalamnya membawanya pada pertanyaan tentang apa
yang terjadi dengan otoritas karismatik ketika pemimpinya mati. Akhirnya,
sistem karismatik pada dasarnya sangat rentan. Sistem ini terlihat mampu
bertahan hanya selama pemimpin karismatik hidup. Bagi Weber, karisma pada
dasarnya tidak stabil, ia hadir dalam bentuknya yang murni selama pemimpin
karismatiknya hidup.
Otoritas legal :
otoritas legal dapat memiliki beragam bentuk struktural, namun bentuk yang
paling menarik perhatiannya adalah birokrasi, yang ia pandang sebagai tipe
paling murni dari dijalankannya otoritas legal. Otoritas ini berhubungan dengan
rasional instrumental. Bawahan tunduk pada otoritas ini karena posisi sosial
yang mereka miliki itu didefinisikan menurut peraturan sebagai yan harus tunduk
dalam bidang-bidang tertentu.
3.
Bentuk
Organisasi Birokratis
Organisasi
birokratis berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat dimasa kini yang
memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros, dan nampaknya
tidak rasional lagi. Weber melihat birokrasi modern sebagai suatu bentuk
organisasi sosial yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Bentuk
organisasi sosial birokrasi mencerminkan suatu tingkat rasional instrumental
yang tinggi, mampu berkembang pesat dengan menggeser bentuk-bentuk tradisional,
hanya karena efisiensinya yang lebih besar itu.
Birokrasi
mencakup karakteristik-karakteristik yang istimewa, yang dilihat sebagai tipe
ideal. Tipe ideal mengenai birokrasi menekankan sifat hubungan yang impersonal,
tetapi mencegah timbulnya hubungan- hubungan pribadi. Sifat- sifat tipe ideal
birokrasi; (1.) Suatu pengaturan fungsi resmi yang terus menerus diatur menurut
peraturan, (2.) Suatu bidang keahlian tertentu. (3.) organisasi kepegawaian
mengikuti prinsip hierarki, (4.) Peraturan-peraturan yang mengatur pegawai baik
berupa teknis atau norma. (5.) pemisahan antara staf administrative dengan
pemilikan alat-alat produksi. (6.) tidak ada pemberian posisi kepegawaiannya
okeh seseorang yang sedang menduduki suatu jabatan. (7.) tindakan, keputusan,
dan peratyran administrative dirumuskan dan dicatat secara tertulis.
Alasan
pokok bentuk organisasi memiliki efisiensi adalah karena organisasi itu memilki
cara yang secara sistematis menghubungkan kepentingan individu dan tenaga
pendorang dengan pelaksanaan fungsi-fungsi organisasi. Selain itu karena adanya
pemisahan yang tegas dan sisitematis antara apa yang bersifat pribadi, seperti
emosi, perasaan, hubungan sosial pribadi, dan apa yang birokratis.
4. Tipe-Tipe Otoritas Campuran
Hubungan otoritas dalam
keadaan riil cenderung mencerminkan tingkat-tingkat yang berbeda. Sehubungan
dengan ini Etzioni mengembangkan suatu model dinamika organisasi yang
mendiskusikan secara eksplisit manifestasi pengaruh karismatik yang
terus-menerus dalam organisasi birokratis. Dia berpendapat bahwa salah satu
tantangan organisasi birokratis adalah untuk memanfaaatkan pengaruh karismatik
yang ada pada pegawai dalam organisasi itu. Studi psikologi sosial mengenai
kepemimpinan, menerima perbedaan penting yang terdapat dalam mutu pribadi yang
menyatakan pengaruhnya dalam suatu organisasi. Tekanan Weber sendiri dalam
menggunakan konsep-konsep tipe ideal ini adalah untuk menunjukkan betapa
otoritas legal-rasional itu berkembang dalam masyarakat modern, masyarakat industri
kota dengan mengorbankan otoritas tradisional.
V.
ORIENTASI
AGAMA, POLA MOTIVASI, DAN RASIONALISASI
Pertumbuhan organisasi
birokratis tidak hanya mencerminkan keruntuhan beberapa bagian dalam tradisi
dan munculnya suatu pendekatan yang semakin sistematis dan rasional.
Kecenderungan yang sama terhadap rasionalisasi uga dirangsang oleh perkembangan
Protestantisme. Analisa Weber mengenai Etika Protestan mencerminkan dan
memperbesar kecenderungan bertambahnya rasionalitas, dan yang lebih penting
memperlihatkan peran di mana ide agama berperan dalam meningkatkan perubahan
sosial. Dengan tulisan ini Weber bermaksud memperbaiki interpretasi materialis
yang berat sebelah dalam pandangan Marx mengenai sejarah khususnya mengenai
sistem kapitalis.
1.
Weber
dan Marx Mengenai Pengaruh Ide Agama
Menurut Marx,
perjuangan kelas merupakan kunci untuk mengerti perubahan sejarah serta
transisi dari suatu tipe ke tipe struktur sosial lainnya. Perubahan
revolusioner pun menuntut supaya ilusi dan institusi agama dihancurkan. Weber
mengakui pentingnya kondisi materil dan posisi kelas ekonomi dalam mempengaruhi
kepercayaan, nilai, dan perilaku manusia. Sebenarnya, Weber memperluas
perspektif Marx tentang stratifikasi. Weber menekankan bahwa orang mempunyai
kepentingan ideal dan juga materil. Weber merasa perlu mengakui
pengaruh timbal-balik antara kepentingan ideal dan kepentingan
materil dan menentukan secara empiris dalam kasus individu, apakah kepentingan
materil atau ideal yang lebih dominan.
2.
Kepercayaan
Protestan dan Perkembangan Kapitalisme
Analisa
Weber dalam bukunya The Protestantt Ethic and the Spirit of
Capitalism harus dilihat dalam konteks keseluruhan usahanya untuk
memperlihatkan pengaruh ide yang bersifat independen dalam perubahan sejarah.
Untuk mengatakan bahwa ada elective affinity antara etika Protestan
dan semangat kapitalisme, berarti bahwa jenis motivasi yang timbul karena
kepercayaan dan tuntutan etis Protestantisme membantu merangsang jenis perilaku
yang dibutuhkan atas lahirnya Kapitalisme borjuis modern. Baik Protestantisme
maupun kapitalisme menyangkut pandangan hidup yang rasional dan sistematis.
Etika Protestan merangsang atau mendorong kapitalisme. Faktor lainnya adalah
kondisi materil dan kepentingan ekonomi. Pengaruh Protestantisme pada
kapitalisme tidak melekat selamanya. Weber mengakui bahwa sesudah kapitalisme
berdiri, ia menjadi otonom dan berdikari, dan dia mencatat bahwa dukungan agama
tidak lagi ada dimasa Benjamin Franklin.
Ini berarti bahwa
kritik yang menekankan sifat kapitalisme masa kini yang murni sekuler itu
dimana motivasi yang harus ada untuk mempertahankan sifat materialistik, atau
yang memperlihatkan bahwa agama Protestan dan Katolik tidak memperlihatkan
perbedaan dalam aspirasi dan prestasi benar-benar merupakan tanggapan yang
salah dari Weber. Hubungan jangka panjang antara Protestantisme dan kapitalisme
dilihat sebagai sesuatu yang bersifat dialektik, dimana Protestantisme membantu
pertumbuhan kapitalisme di masa awalnya, tapi akhirnya dirusak dan diganggu
oleh pengaruh kapitalisme yang sudah sekuler.
3.
Etika
Protestantisme sebagai Protes terhadap Katolisisme
Bagi Weber, etika
Protestan memperlihatkan suatu orientasi agama yang bersifat asketik dalam
dunia (inner-worldly). Asketisme dalam dunia menunjuk pada komitmen
untuk menolak kesempatan dan menuruti keinginan fisik untuk mengejar suatu
tujuan spiritual; tujuan ini harus dicapai melalui komitmen yang sistematis.
Menurut Weber, kegiatan ekonomi merupakan bentuk yang paling tinggi dimana
kegiatan moral individu dapat terlaksana. Protestantisme membantu meningkatkan
kapitalisme dengan meenyucikan kegiatan ekonomi sebagai sesuatu yang mempunyai
arti religious di dalam suatu abad dimana motivasi individu yang sangat
religius. Pembedaan ini secara bertahan diterima dan diresmikan, dan akibatnya
adalah terbukanya kemungkinan baru untuk akumulasi modal dan membiayai usaha
raksasa melalui kreditm semuanya dalam etika Protestan.
4.
Etika
Protestan dan Proses Sekularisasi
Yang ditekankan Weber
adalah bahwa ide-ide tertentu dalam Protestantisme memperlihatkan suatu
perubahan dari tradisionalisme ke suatu orientasi yang lebih rasional. Ide-ide
Weber mengenai pengaruh etika Protestan tidak didasarkan pada analisa sejarah
yang sistematis. Tujuannya bukan untuk menelusuri perkembangan sejarah Protestantisme.
Sebaliknya, dia bergerak di antara pelbagai cabang Protestantisme di pelbagai
periode dalam sejarah Protestan. Aliran utama dalam Protestantisme dimana ia
mengambil prinsip utama mengenai etika Protestan yang mencakup Luther,
Kalvinisme, Pietisme, Puritanisme, Metodisme, dam sekte Baptis. Meskipun
tekanan utama aliran ini berbeda, untuk tujuan kita pusat perhatiannya adalah
pada masal etis yang sama.
5.
Protestantisme
Dibandingkan dengan Agama-Agama Dunia Lainnya
Kasus etika Protestan
menggambarkan tekanan Weber yang utama dalam teorinya yang berhubungan dengan
peran yang independen dimana ide-ide agama dapat memainkan peran dalam
menggalakkan perubahan sosial. Karya Weber mengenai agama besar di dunia
sangatlah bernilai. Dia menganalisa agama sebagai suatu dasar utama bagi
pembentukan kelompok status dan pelbagai tipe struktur kepemimpinan dalam agama
itu. Dia menerima saling ketergantungan timbal-balik antara kepercayaan agama
dan motivasi di satu pihak, dan gaya hidup serta kepentingan materil di pihak
lainnya. Betapa kritik literature kelihatannya salah menginterpretasi apa yang
sesungguhnya Weber maksudkan. Orientasi membantu melegitimasi kegiatan ekonomi
kaum kapitalis di masa awal, namun Weber tidak pernah mengemukakan bahwa
kelanjutan dari suatu sistem kapitalis yang sudah mantap akan membutuhkan
legitimasi agama terus-menerus. Seperti kita lihat di depan, kapitalisme
menjadi berdikari; tambahan pula konsumsi kapitalis sebenarnya membantu
kerusakan orientasi agama yang bersifat asketis dalam Protestantisme.
6.
Etika
Kerja Masyarakat Modern
Isu etika kerja
merupakan isu dasar dalam sosiologi masa kini. Weber berspekulasi bahwa dia
tidak melihat suatu kemungkinan yang jelas bagi dominasi organisasi birokratis
yang terus menerus membesar. Rasionalitas dan efisiensi yang terus meningkat
dapat kita lihat dalam motivasional dan organisasional. Dalam memenuhi tuntutan
pekerjaan rutin yang sangat tinggi spesialisasinya, sistematis, dan dapat
diperhitungkan dalam organisasi yang dikontrol secara impersonal, orang harus
mengorbankan spontanitasnya, hubungan personalnya, kesempatan untuk
mengungkapkan emosi, dan kemampuan untuk menjadi manusia yang utuh. Weber
melihat masa depan dengan mata yang suram dalam melihat biaya psikologis yang
mengertikan dari etika kerja sekuler yang memaksa yang disalurkan ke dalam
peran birokratis yang sempit sehingga etika kerja itu kehilangan dayanya.
ANALISIS
TEORI RASIONALITAS DAN TINDAKAN SOSIAL
Terkait masalah Rasionalitas yang dikemukakan Weber,
Tindakan Rasional yang dilakukan seseorang seperti saat ini adalah seperti
pikiran yang kadang tidak bisa mendorong kita untuk bertindak. Kadang juga kita
sering berpikir bahwa tindakan orang lain itu sama sekali tidak masuk akal. Seperti
contoh kita sering menemukan seseorang yang melakukan tindakan diluar kebiasaan
kita. Kita akan berpikir bahwa orang itu melakukan tindakan yang tidak lazim
dilakukan orang normal. Tetapi kita juga pasti tahu bahwa tindakan orang yang
kita nilai tidak lazim tersebut hanya karena perbedaan kebiasaan, lingkungan,
dan masalah sosial lainnya. Pikiran kita hanya terpatok pada pemikiran kita
sendiri. Banyak orang menganggap perilaku atau keputusan orang lain melenceng
dari pemikiran kita. Karena kita hanya mengacu pada pemikiran kita sendiri .
dan jarang sekali yang berpemikiran di luar pemikirannya.
Seperti contoh yang pernah terjadi;
seorang balita yang biasa Makan Kertas. Menurut kita yang normal, tindakan
seperti itu sangat tidak rasional. ”Kertas
kok dimakan. Bukannya Ayam Goreng lebih nikmat ya”. Kertas yang umumnya
dibuat untuk bahan menulis, justru dibuat untuk makan. Secara pikiran kita
perilaku seperti itu memang sangat mengherankan dan tidak masuk akal karena
kita yang memang biasa memakan makanan yang layak dimakan. Dia yang mungkin
karena minim biaya atau tak ada bahan makanan lainnya yang menyebabkan akhirnya
terpaksa dengan perlahan menjadi seperti itu dan menjadi kebiasaan dan bahkan
menjadi kebutuhan yang akhirnya menurutnya itu sangatlah lazim. Dan bisa juga
hal seperti itu bisa menimbulkan teori baru yang biasa kita namakan ”selera”,
karena dia yang sudah menganggap memakan kertas seperti itu adalah hal yang
biasa yang lumrah dilakukannya dan sebaliknya menurut kita.
Teori Tindakan Sosial Max Weber
Dalam hidup bermasyarakat, kita
pasti mengadakan hubungan dengan orang lain. Hubungan tersebut dalam sosiologi
disebut interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan intisari dari kehidupan
sosial. Sebelum kita pelajari lebih jauh mengenai interaksi sosial, ada suatu
hal yang mendasari terjadinya interaksi sosial, yaitu tindakan sosial. Apakah
yang dimaksud dengan tindakan sosial dan apa saja bentukbentuknya? Lebih
lengkap akan kita bahas berikut ini.
1.
Pengertian Tindakan Sosial
Kita sebagai makhluk hidup
senantiasa melakukan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan
merupakan suatu perbuatan, perilaku, atau aksi yang dilakukan oleh manusia
sepanjang hidupnya guna mencapai tujuan tertentu. Misalnya Anton les bahasa
Inggris dengan tujuan agar dia terampil dan mahir dalam berbahasa Inggris.
Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Lalu
tindakan yang bagaimanakah yang disebut dengan tindakan sosial? Perhatikan
cerita berikut ini. “Suatu sore, Bintang duduk-duduk diteras depan sambil
mendengarkan musik. Tiba-tiba ada seorang gadis cantik berambut panjang lewat
di depan rumahnya. Dengan maksud untuk menggoda gadis itu, Bintang kemudian
bersiul”.
Dari cerita di atas, tindakan ‘bersiul’ yang dilakukan
Bintang merupakan bentuk tindakan sosial. Mengapa? Bintang ‘bersiul’ karena
ingin menggoda gadis cantik berambut panjang yang lewat di depan rumahnya. Dari
situ, dapat memberikan definisi mengenai tindakan sosial? Tindakan sosial
adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan berorientasi pada atau dipengaruhi
oleh orang lain. Dan Tindakan Sosial menurut
Weber adalah seperti contoh; menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan
merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam
sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.
Tindakan Sosial ala Weber disini adalah tindakan yang melibatkan orang lain
adalah merupakan tindakan sosial atau sebagai tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain.
2. Jenis-Jenis
Tindakan Sosial
Menurut Max Weber, tindakan sosial
dapat digolongkan menjadi empat kelompok (tipe), yaitu tindakan rasional
instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan
tindakan afeksi.
a. Tindakan
Rasional Instrumental
Tindakan ini dilakukan seseorang
dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang
akan dicapai. Contoh; guna menunjang kegiatan belajarnya dan agar bisa
memperoleh nilai yang baik, Fauzi memutuskan untuk membeli buku-buku pelajaran
sekolah daripada komik.
Berdasarkan contoh diatas tindakan
yang dilakukan oleh fauzi untuk membeli
buku daripada komik menunjukan bahwa dirinya mempertimbangkan dan menentukan
sebuah pilihan yang sadar, dimana pilihan dari tindakannya tersebut berhubungan
dengan tujuannya untuk memperoleh nilai yang baik dan alat (buku) yang
digunakan sebagai penunjang untuk mencapai tujuan itu.
Dia menilai bahwa buku dapat
digunakan sebagai alat penunjang untuk memperoleh nilai yang baik daripada membeli sebuah komik. Dia
mempertimbangkan akan pentingnya alat yang digunakan untuk mencapai tujuannya,
pertimbangan tersebut rasional termasuk guna akan beberapa alat yang tersedia
dan konsekuensinya yang mungkin dari beberapa alternative dipergunakan untuk menunjang belajar dan
memperoleh nilai yang baik mencerminkan pertimbangan Fauzi atas efisiensi dan
efektifitasnya. Fauzi menentukan pilihannya tersebut berdasarkan kegunaan alat
dan konsekuensinya, hal ini menunjukan bahwa pertimbangannya memilih alat
(buku-buku) dilakukan secara obyektif dengan tujuan yang akan dicapai.
b. Tindakan
Rasional Berorientasi Nilai
Tindakan ini bersifat rasional dan
memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu
dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanya beranggapan bahwa yang paling penting
tindakan itu termasuk dalam kriteria baik dan benar menurut ukuran dan
penilaian masyarakat di sekitarnya. Misalnya seseorang muslim yang menjalankan
sholat wajib 5 waktu setiap harinya dengan tujuan masuk surge setelah
meninggal.
Dari
contoh diatas dapat dianalisis bahwa tindakan yang beorientasi nilai lebih mengedepankan
alat untuk mencapai tujuan, sementara tujuannya sendiri tidak begitu
diperhitungkan dengan jelas. Sholat sebagai alat pencapai tujuannya merupakan
sesuatu yang sudah dianggap benar oleh masyarakat sekitar di kalangan muslim.
Sementara tujuannya untuk masuk
surga merupakan nilai akhir yang tidak rasional dalam hal dimana si pelaku
tidak dapat memperhitungkan secara obyektif mengenai tujuannya tersebut.
c. Tindakan
Tradisional
Tindakan ini merupakan tindakan yang
tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan
terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. Misalnya
selametan bubur suro yang dilakukan masyarakat jawa pada tanggal 10 muharam.
Contoh tersebut menggambarkan bahwa
tindakannya tidak rasional, dimana alat dan tujuan tidak dapat diperhitungkan
secara obyektif. Prilaku tersebut merupakan kebiasaan tanpa sadar atau
perencanaan yang sudah berjalan dari waktu ke waktu atau turun temurun dalam
massyarakat. Seseorang yang melakukan tindakan tersebutpun tidak dapat
menjelaskan secara jelas mengeai tujuan dari tindakannya itu, misalkan ditanya
dia hanya akan menjawab “sebagai tolak balak”.
Individu yang melakukan tindakan ini
hanya percaya terhadap hal-hal mitos yang ada di masyarakat, sementara untuk
kenyataan yang empirisnya mereka tidak mengetahui. Namun karna kebiasaan
tersebut sudah ada sejak dulu dan dianggap benar, maka tindakan ini masih
dipercayai untuk dilakukan dan jika tidak dilakukan maka yang terjadi secara
subyektif dirinya akan merasa bahwa dia telah melanggar apa yang menjadi aturan
dalam masyarakatnya serta akan mendapatkan sanksi yang sifatnya alami (bukan
dilakukan oleh masyarakat tapi merupakan bencana dari alam atau kekuatan Tuhan).
Apabila dalam kelompok-kelompok atau
masyarakat didominasi oleh orientassi ini, maka kebiasaan dan institusi mereka
didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai kerangka
acuannya, yang diterima begitu saja tanpa persoalan atau pertimbangan.
Satu-satunya pembenaran yang dilakukan adalah bahwa, “inilah cara yang sudah
dilakukan nenek moyang kami, dan demikian pula nenek moyang mereka sebelumnya,
ini adalah cara yang sudah begini dan akan selalu begini terus”.
Weber
melihat tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningkatnya rasional
instrumental. Semakin tinadakan rasional instrumental berkembang di suatu
masyarakat maka dengan sendirinya kebiasaan dan tradisi yang ada dalam
masyarakat akan berangsur hilang. Seseorang yang berpikir rasional akan
pentingnya alat dan tujuan, maka dia akan mempertimbangkan setiap tindakan yang
dilakukannya, dengan begitu hal-hal atau tindakan yang manfaatnya tidak dapat
dibuktikan secara obyektif oleh pikirannya akan ditinggalkan mengigat fungsinya
yang tidak jelas. Hal tersebut terkait dengan tiga hukum Comte yang menjelaskan
perkembangan masyarakat dari tahap teologis-metafisik-positivis. Dimana pada
tahap positivis manusia akan berpikir modern dan percaya terhadap hal-hal yang
empiris.
d. Tindakan
Afektif
Tipe tindakan ini ditandai oleh
dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang
sadar. Seseorsng yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta,
ketakutan, kemarahan, atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan
perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif.
Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan yang
logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya.
Tindakan ini sebagian besar dikuasai
oleh perasaan atau emosi tanpa pertimbangan-pertimbangan akal budi. Seringkali
tindakan ini dilakukan tanpa perencanaan matang dan tanpa kesadaran penuh. Jadi
dapat dikatakan sebagai reaksi spontan atas suatu peristiwa. Contohnya
seseorang gadis yang menangis karena orang tuanya meninggal dunia.
Dengan cara bertindak menangis, hal
tersebut merupakan hanya sebuah reaksi sepontan yang didominasi oleh perasaan
si gadis itu, karana dengan tindakan menangis tersebut juga tidak akan ada
gunanya. Ayahnya yang sudah meninggal tidak akan hidup lagi walaupun anaknya
menangis meraung-raung. Dengan begitu tindakan ini dikatakan sebagai tindakan
yang tidak rasional.
Sumber
: Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1 (terjemahan oleh Robert M.
Z. Lawang). Doyle Paul Johnson. 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar