BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang memiliki struktrur yang bersifat majemuk. Melihat
masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaan masing-masing bersifat plural
(jamak) sekaligus juga hetrogen (aneka ragam). Pluralitas sebagai kontraposisi
dari simularitas menimbulkan adanya situasi yang terdiri dari kejamakan bukan
ketunggalan. Artinya, dalam masyarakat Indonesia dapat dijumpai berbagai
sub-kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu kelompokan satu dengan yang
lainnya. Tidak kurang dari 500 suku bangsa di Indonesia menegaskan kenyataan
itu. Demikian pula dengan kebudayaan mereka. Heterogenitas yang merupakan
kontraposisi dari homogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang
menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya. Artinya, masing-masing sub
kelompok masyarakat itu berserta kebudayaannya benar-benar berbeda satu dari
yang lainnya tapi masih dalam satu NKRI.
Banyaknya
penyimpangan perilaku siswa di sekolah maupun masyarakat disebabkan demi
menjaga gengsi atau kehormatan masing-masing, maka persahabatan, toleran dan
norma-norma menjadi lemah, yang terjadi malah sebaliknya ingin menang sendiri
dan pahamnyalah yang harus dianggap paling benar. Masing-masing kelompok dengan
latarbelakang suku, budaya dan agama yang sama berusaha melakukan indoktrinasi
untuk memperkuat fanatik golongan. Kurangnya tokoh di sekolah maupun di
masyarakat juga mengakibatkan peserta didik kehilangan figure teladan bagi
hidupnya. Sekarang banyak
guru yang bukan mendidik melainkan hanya sekedar mengajar. Mengajar merupakan
proses dimana memberikan pengetahuan dimana peserta didik yang tadinya tidak
tahu menjadi tahu sedangakan mendidik cakupannya lebih luas dimana seseorang
selain memberikan pengetahuan juga memberikan contoh mengenai tingkah laku ,
norma maupun nilai yang benar.
Seseorang tidak bisa
mendidik karena ia sekedar mau, juga orang tidak bisa mendidik karena ia
sekedar tahau, tetapi seseorang hanya bisa mendidik dengan baik apabila ia
mampu menampilkan dirinya secara holistik atau utuh sebagai pendidik yang
berdedikasi secara nyata. Sikap saling menghargai dalam masyarakat multi etnik
sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik dalam pergaulan.
Keanekaragamaan etnik-budaya Indonesia hendaknya bukan menjadi faktor penyebab
terjadinya konflik antar sesama, melainkan diharapkan mampu menjadi ”bumbu
kehidupan” bagi perekat dalam pergaulan di masyarakat untuk saling melengkapi.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa
esensi pendidikan kewarganegaraan?
2) Bagaimana
penjelasan mengenai konsep nilai multikultural?
3) Bagaimana
pengembangan nilai multikiultural melalui pendidikan kewarganegaraan?
4) Seberapa
jauh pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan multicultural?
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Esensi Pendidikan kewarganegaraan
Branson
(1999:3) mengingatkan bahwa civic education seharusnya menjadi perhatian utama.
Tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan warga negara yang
mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan dengan komitmen
yang benar terhadap nilai-nilai dari prinsip fundamental dan demokrasi.
Benyamin Barber (Branson,1999:5) menjelaskan bahwa
civic education adalah pendidikan untuk megembangkan dan memperkuat dalam atau
tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom yang
demokratis berita bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya
sendiri, mereka tidak hanya menerima didekte orang lain atau memenuhi tuntutan
orang lain yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan
sesungguhnya bila warga negara dapat berpartisipasi dalam pemeritahannya. Dalam
demokrasi konstitusional, civic education yang efektif adalah suatu keharusan
karena kemampuan berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berfikir secara
kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati
yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain,
semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai.
Pendidikan kewarganegaraan memiliki visi dan misi serta
struktur keilmuan. Menurut Kementrian Pendidikan Nasional (2003:3) visi mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata pelajaran
yang berfubgsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (motion and character
building) dan pemberdayaan warganegaranya. Sedangkan misinya adalah menjadikan
warga negara yang baik yakni warga negara yang memiliki kesadaran polotik dan
kesadaran moral. Untuk mencapai visi dan misi tersebut maka pendidikan
Kewarganegaraan tampil dengan paradigm baru struktur keilmuan mencakup dimensi pengetahuan (Civic Knowledge), keterampilan kewarganegaraan (Civic Skill) watak atau karakter kewarganegaraan (Civic Disposition). Cakupan dimensi
dalam struktur keilmuan yang lain meliputi politik, hukum dan moral.
2.2
Pengertian Nilai Multikultural
Perkataan “nilai” dapat ditafsirkan sebagai ”makna” atau
“arti” (worth) sesuatu barang atau benda. Hal ini mempunyai pengertian
bahwa sesuatu itu bernilai, berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi
kehidupan manusia. Adapun multikulturalisme secara sederhana berarti
“keberagaman budaya”. Sebenarnya, ada tiga istilah yang
kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri
keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang
berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan
multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak
merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya
’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari
satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari
satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan
dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru.
Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara
pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah
kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa
memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila
pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu),
multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu
mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam
respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya
komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah
bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu,
multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of
recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang
harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.
Sebagai sebuah gerakan, baru sekitar 1970-an
multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di
Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Bikhu
Parekh menggarisbawahi tiga asumsi mendasar yang harus diperhatikan dalam
kajian tentang multikulturalisme, yaitu:
Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan
sistem budayanya sendiri di mana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini
tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya
tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat
segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua,
perbedaan budaya merupakan
representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda
pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif
sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak
satu budaya-pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain. Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal
merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan
tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi
dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang
majemuk, terus berproses dan terbuka.
2.3 Pengembangan Nilai
Multikultural Melalui Pendidikan Kewarganegaraan
Multikulturalisme dalam Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup,
multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas
masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan,
keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan
manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu, sebagai sebuah
gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam pelbagai sistem
budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu melalui
pendidikan yang berwawasan multikultural.
Pendidikan dengan wawasan mutlikultural dalam rumusan James
A. Banks adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set
of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman
budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial,
identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok
maupun negara.
Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural
adalah proses pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua peserta
didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk
diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta mengafirmasi
pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya)
yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru.
Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum dan
strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan di
antara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar.
Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis,
refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan
multikultural mengembangkan prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial. Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan
pendidikan multikultur sebagai “an education in freedom, both in the sense
of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and
learn from other cultures and perpectives”.
Dari beberapa dua definisi di atas, hal yang harus
digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan adalah
identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas
sebagai salah satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan
guru merupakan satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur
tertentu dalam masyarakat. Identitas pada dasarnya inheren dengan sikap
pribadi ataupun kelompok masyarakat, karena dengan identitas tersebutlah,
mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula dalam
interaksi antar budaya yang berbeda. Dengan demikian dalam pendidikan
multikultur, identitas-identitas tersebut diasah melalui interaksi, baik
internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karena itu,
identitas lokal atau budaya lokal merupakan muatan yang harus ada dalam
pendidikan multikultur.
Dalam masyarakat ditemukan berbagai individu atau kelompok
yang berasal dari budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas
tersebut tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan
peserta didik maupun para guru yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam
satu proses pendidikan. Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengayaan
budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya, lokal,
nasional dan global. Oleh karena itu, pendidikan multikultur bukan merupakan
satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan
di atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam
pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yang ada, bersikap
terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada
untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.
2.4 Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Multikultural
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
PendidikanNasional (Sisdiknas), pendidikan kewarganegaraan merupakan nama
matapelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan mata
kuliahwajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini lebih
jelas dandiperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjelasan dari Undang-Undang
tersebut.
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Dengan adanya ketentuan UU tersebut maka kedudukan pendidikan kewarganegaraan
sebagai basis pengembangan masyarakat multikultural dalam sistem pendidikan di
Indonesia semakin jelas dan mantap.
Secara epistimologis, pendidikan kewarganegaraan dikembangkan
dalam tradisi citizenship education yang tujuannya sesuai dengan tujuan
nasional masing-masing negara. Namun secara umum, tujuan negara mengembangkan
pendidikan kewarganegaraan adalah agar setiap warga negara menjadi warga negara
yang baik (to be good citizenship), yakni warganegara yang memiliki kecerdasan,
baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasabangga dan
tanggung jawab; dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Di Indonesia, pendidikan kewarganegaraan telah beberapa kali
perubahan nama sejalan dengan perkembangan dan pasang surutnya perjalanan
politik bangsa Indonesia. Istilah civic dan civic education telah muncul
masing-masing dengan nama: Kewarganegaraan (1957) yang membahas tentang caram
emperoleh dan kehilangan kewargaan negara; Civics (1962) yang lebih banyak
membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato
politik kenegaraan, terutama diarahkan untuk nation and character building
bangsa Indonesia; dan Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Tahun 1975, nama
pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas, dan
PendidikanPancasila untuk perguruan tinggi. Pada tahun 1994, berubaha menjadi
PendidikanPancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan terakhir berdasarkan UU No.
20 tahun 2003 berubah lagi menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.
Terkait dengan pendidikan multikultural, Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki peranan penting dalam rangka mempersiapkan peserta didik menjadi warga
negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara
kesatuan Republik Indonesia.
BAB III PENUTUP
Simpulan
Pendidikan kewarganegaraan memiliki
visi dan misi serta struktur keilmuan. Menurut Kementrian Pendidikan Nasional
(2003:3) visi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya
suatu mata pelajaran yang berfubgsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa
(motion and character building) dan pemberdayaan warganegaranya. Sedangkan misinya
adalah menjadikan warga negara yang baik yakni warga negara yang memiliki
kesadaran polotik dan kesadaran moral.
Terkait dengan pengembangan nilai
multikultural pendidikan kewarganegaraan memberikan pengaruh yang besar. Pengaruhnya tersebut diberikan melalui materi
pembelajaran, nilai, norma, sikap, dan tradisi yang ada dalam masyarakat
Indonesia yang bersifat multikultur, sehingga diharapkan peserta didik mampu
memahami nilai-nilai multikultural dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan
bemasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, dkk. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan
Tinggi. Semarang: UNNES PRESS.
Handoyo, Eko, dkk. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang:
Fakultas Ilmu Sosial UNNES.
http://ft.sunan-ampel.ac.id/publikasi/artikel/137-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html